Monday, December 3, 2018

Dia Tidak Butuh Aku Lagi ( Bagian 1 )


SIANG ini panas sekali. Sang bagaskara seakan murka sehingga menghukum penghuni bumi dengan menyorotkan sinar teriknya. Bumi yang sudah gersang ini terasa semakin garing.
Aku segera mengeluarkan buku catatanku ketika Bu Warti meninggalkan catatan untuk kami. Bukan untuk menaati instruksi itu, tapi untuk kipas-kipas karena gerah. Panas-panas begini, guru yang dapat gaji saja malas ngajar, apalagi murid yang sudah membayar, disuruh belajar pula.
Ketika anak-anak lain mulai mencatat walau dengan ogah-ogahan, aku malah asyik jelalatan. Tempat dudukku memang paling strategis untuk intip-mengintip. Dekat jendela soalnya. Dari sana aku bisa melihat kantin, lapangan basket, dan tiga kelas yang kebetulan penghuni cowoknya paten-paten punya. Lumayan buat ngilangin kantuk.
Dua kelas lain tampak sepi, tapi kelas III Fisik tidak. Sebagian besar penghuninya bertebaran ke mana-mana. Ada yang nongkrong di kantin, menikmati segelas es jeruk yang menggiurkan, sambil ngerumpi. Beberapa anak cowoknya nekat main basket. Mereka memang lain dengan cewek yang memikirkan efek sinar ultra violet pada kulit. Sebagian lagi duduk-duduk saja di depan kelas.
Jelas aku lebih suka memperhatikan polah mereka daripada capek mencatat. Apalagi di sana ada Dani, cowok Sang Ketua Osis yang diam-diam kutaksir. Abis, orangnya manis, sih! Terutama senyumnya. Ditambah alis tebal yang melengkapi sepasang mata setajam mata elang itu. Udah gitu, orangnya pintar dan baik lagi. Gimana kita nggak kepincut?
Eh, ah! Wajahku seperti terbakar ketika asyik memperhatikan, Dani yang sedang mendrible bola tiba-tiba menoleh ke kelasku. Senyum semanis madu itupun spontan terukir di bibirnya.
Sekejap memang, tapi cukup membuatku serasa terbang di awing-awang.
“Duh… duh!” celetuk Mira yang duduk di belakangku. “Panas-panas begini masih sempat main mata!”
Aku mencibir. Dasar sirik! Gerutuku dalam hati.
Aku mengembalikan pandangan ke papan tulis. Di sana sudah penuh tulisan Nevi, sekretaris kelas yang kerajinannya sudah tidak diragukan lagi. Makin malas aku melihatnya.
“Nanti aku pinjam catatanmu ya, Dit!” kataku pada Dita yang duduk di sebelahku.
Dita menoleh segan. “Aku juga sedang malas nyatat, Shin.”
“Apa?” Aku mengerutkan kening.
Sejak kapan sobatku ini kenal kata malas? Sejak aku mengenalnya kira-kira lima tahun lalu, setahuku Dita mengharamkan kata malas ada dalam kamus hidupnya. Sebaliknya aku selalu dijangkiti penyakit itu. Mungkin justru itu yang membuat kami klop selama ini.
Aku menlongok buku Dita, penasaran. Ternyata benar, kosong melompong. Jadi, ngapain Dita yang sejak tadi kulihat terus memelototi buku sambil menggenggam pulpen? Bengong?
Bodo, ah! Aku malas mikir. Dasar pemalas!
Akhirnya aku kembali menikmati kesenanganku, memandang ke luar jendela.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Wednesday, November 7, 2018

Pilihan Karin (Bagian 1)


SEMUA yang sedang pemanasan di tengah lapangan basket menoleh, ketika sebuah Honda civic hijau lumut mulus memasuki parkiran di samping lapangan. Karin yang berada di dalam merasakan pandangan mereka menghujam. Bagai ribuan jarum merajam seluruh tubuhnya.
Terlebih ketika Hans membukakan pintu mobil, ala pangeran mempersilakan putri turun dari kereta kencana. Dia juga membawakan tas jinjingnya yang cuma berisi handuk kecil dan Aqua.
“Hans, aku ke mereka dulu, ya!” bisik Karin setengah jengah.
“Ya. Aku ke sana.” Hans menunjuk pojok lapangan.
Karin mengangguk. Dia terus, sementara Hans berbelok.
Teman-temannya pura-pura sibuk lagi, ketika tahu Karin menuju ke arah mereka. Enny asyik mendrible bola. Ratna menghalang-halangi, berusaha merebut bola. Susi menggoyang-goyangkan tubuh sambil menghitung perlahan. Mimi mengikuti gerakannya. Mereka tidak mempedulikan kedatangannya.
Karin mendesah. Ada yang mengganjal di dadanya. Sakit! Membuat sesak napasnya. Dia bukannya tidak tahu apa yang membuat teman-temannya bersikap demikian. Kedatangannya bersama Hans.
“Hai, Karin!” Amara muncul dari balik ring basket. “Kok, cepat banget datangnya? Ketemu Dicky di jalan, ya?”
“Dicky?” Kening Karin berkerut.
“Iya. Wah, kasihan, lho! Tampaknya dia lagi suntuk berat. Kamu apain sih, Rin?”
Karin menggeleng galau. Dia masih belum mengerti.
“Tadi ketika baru datang, kulihat Dicky sendirian di lapangan ini. Ngubek-ngubek bola basket. Dia nggak pulang ke rumah sejak bubaran sekolah, ya? Seragamnya sampai basah kuyup mandi keringat. Tasnya juga dibiarkan saja tergeletak di tengah lapangan.”
Amara bercerita tanpa menghiraukan wajah Karin yang berubah nada.
“Ketika aku datang, dia kaget. Tanya jam berapa. Kujawab, jam tiga lebih. Dia langsung cabut. Katanya, mau jemput kamu.”
“Aku?” Karin menunjukkan dadanya sendiri. “Dicky menjemputku?”
“Lha, iya!” Ganti Amara yang heran. “Emang nggak ketemu? Kamu ke sini sama siapa?”
“Itu, tuh!”
Bukan Karin yang menjawab, tapi Ratna. Matanya melirik ke sudut lapangan di mana Hans sedang duduk menunggu. Amara ikut melirik.
“Oh!”
Hanya itu yang keluar dari bibir Amara. Tatapannya berubah, senada dengan suaranya. Lalu dia pun tidak mengacuhkan Karin lagi. Bergabung dengan temannya yang lain.
Sekali lagi Karin mendesah. Dadanya tambah sesak.
“Aku ganti dulu, ya!” pamit Karin kemudian.
“Ya!”
Alangkah dipaksakannya jawaban itu. Karin bergegas pergi dari hadapan mereka, menghampiri Hans yang duduk di pojokan. Tapi ia masih merasakan tatapan dingin teman-temannya terus mengikuti langkahnya.
Karin tidak bisa menyalahkan mereka. Karin tahu, mereka cuma memprotesnya. Mereka lakukan itu karena membela Dicky. Mereka mengira Karin telah berpaling dari Dicky.
Dicky? Jadi cowok itu masih mau menjemputnya? Tiba-tiba saja Karin menyesal, mengapa memenuhi ajakan Hans yang lebih dulu menjemputnya. Kalau saja tidak, tentu saat ini dia berangkat dengan Dicky. Lalu perlahan-lahan, berusaha menjernihkan persoalan.
Karin yakin pasti bisa. Dicky cowok yang baik. Dia lembut dan penuh pengertian. Tadi siang dia hanya emosi. Dan biasanya cuma sebentar. Emosi itu akan dia tumpahkan di lapangan basket. Setelah itu akan reda dengan sendirinya. Buktinya, Dicky sudah mau kembali menjemputnya.
Tapi aku bodoh, maki Karin dalam hati. Malah pergi dengan Hans. Bagaimana nggak tambah berantakan?
Semua ini gara-gara Hans! Karin melirik cowok itu geram. Tapi Hans yang merasa dilirik malah memamerkan senyum. Mau nggak mau, Karin balas tersenyum. Walau terpaksa.
Karin membuka celana jeans-nya di kamar kecil. Kemudian keluar lagi dengan mengenakan celana pendek sport.
“Latihan yang bagus!” kata Hans sebelum Karin kembali melangkah ke tengah lapangan.
Lagi Karin tersenyum. Walau dalam hati gondok setengah mati. Dia kaget, ketika bergabung dengan teman-temannya. Di sana ada Dicky yang sudah mengenakan pakaian olahraganya.
Dicky menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Karin menggigit bibir.
“Tadi aku jemput kamu,” Dicky berbisik teramat pelan.
Karin ingin menangis mendengarnya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Mas Yo, pelatih mereka tiba. Mereka mulai pemanasan dan latihan.
Seringkali Karin ditegur. Dia sering melakukan kesalahan. Semangat latihannya amblas entah ke mana. Konsentrasinya buyar tak tentu rimba.
Karin tahu. Dicky memperhatikan keganjilannya. Tapi cowok itu diam saja. Tidak seperti biasanya, dia lebih sering melatih Susi atau Mimi, atau yang lainnya. Asisten Mas Yo itu selalu menghindarinya,
Karin mendesah.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Friday, November 2, 2018

Seuntai Maaf, Segumpal Sesal (Bagian 1)


Denting piano saat jemari menari
Nada merambat pelan di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan bersama sebuah bayang
Yang pernah terlupakan

JARUM-JARUM air menghujam bumi. Mulanya jarang-jarang, lama-lama semakin berkembang. Dari ratusan menjadi ribuan, puluhan ribu, bahkan jutaan, dan akhirnya tak terhingga. Angin dingin pun mulai berhembus. Menusuk pori. Menembus tulang.
Kurapatkan restleiting jaketku dan menjauh dari jendela. Namun pandanganku tak beranjak, tetap menekuri senja yang perlahan turun bersama guyuran hujan. Sementara gendang telingaku sayup-sayup menangkap alunan piano mengiringi nyanyian air.
Sempurna, desahku lirih. Hujan dan suara piano membuat hati yang penuh luka kian nelangsa. Hawa dingin yang menusuk membuat luka semakin perih. Suara piano yang mendayu membuatku semakin sendu.
Tak tahan, kututup jendela rapat-rapat dan beranjak menuju dipan. Namun dari balik dinding kamar, suara Iwan Fals bersenandung melantunkan penyesalan. Pasti Ryan, tetangga kosku yang memutarnya. Tapi aku turut larut di dalamnya.
Tiba-tiba selintas nama terbersit. Sekelebat bayangan muncul begitu saja. Perlahan benakku menyusun sesosok dari serpihan kenangan. Semula samar. Lama-lama semakin jelas. Membuatku sempat tertegun bingung. Mengapa sosok itu? Bukankah ratusan hari lalu telah terhapus dari benakku? Kenapa bisa mendadak menyeruak ingatanku?
Sosok itu terlukis nyata. Rambut lurus melewati bahu, agak kecoklatan. Wajah oval dengan bibir tipis dan lesung pipit yang selalu mengiringi saat bibir itu melengkungkan senyum. Aku bahkan nyaris lupa betapa manisnya senyum itu.
Aku mendesah. Mungkinkah perasaanku yang mendayu-dayu akibat luka yang mengharu-biru menyeret kembali sosok ini dari memori yang mulai terkubur waktu? Yah, mungkin saja. Karena bukan dia yang menyebabkan luka. Sebaliknya, ratusan hari yang lalu, luka yang sama pernah kugoreskan di kelembutan hatinya. Luka yang disebabkan sebuah pengkhianatan dan kebohongan.
Apakah ini yang dinamakan karma? Bumerang yang pernah kulemparkan kini berbalik melukaiku. Sungguh balasan yang setimpal! Seperih ini jugakah luka yang dirasakannya dulu? Segetir inikah rasa sakit itu?
Penyesalan tiba-tiba berdentaman di dadaku. Mengapa baru sekarang? Padahal setelah melukainya, ringan saja kuberpikir waktu akan segera menyembuhkannya. Tak ada penyesalan apalagi maaf yang terucap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan ketika lingkungan mulai memojokkanku, dengan enteng aku melangkah pergi, melarikan diri.
Ah, seandainya ratusan hari yang lalu aku tak pernah menggoreskan luka dengan belati kebohongan dan pengkhianatan, mungkinkah sekarang aku tak merasakan perihnya luka itu? Mungkin begitu. Karena bukankah berarti sampai sekarang aku akan tetap bersamanya?
Aku meremas rambutku gusar. Berusaha mengusir berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Tapi rasanya tetap melekat. Bayangan itu semakin nyata. Bahkan bagai proyektor yang memutar ulang kenangan ratusan hari yang lalu. Aku seperti menonton sinetron di mana aku berperan sebagai tokoh antagonisnya.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Tuesday, October 30, 2018

Menanti Elang Berhenti Bertualang (Bagian 1)


Airin
ANGIN yang membawa titik gerimis menerpa kaca jendela. Membentuk kristal-kristal bening yang meleleh perlahan. Kaca bagian dalam berkabut. Menambah suram remang malam yang hanya diterangi sisa penerangan di jalan.
Aku menghapus kabut dengan telapak tangan. Terasa dingin. Jauh menusuk sampai sudut terdalam. Gerimis tidak menghalangi seliweran orang di jalan. Maklum malam Minggu. Hujan deras tak mampu meredam cinta yang membara.
Aku menghela napas. Suara hempasan udara yang keluar agaknya mengusik keasyikan Mbak Niek yang sedang membaca novel Sidney Sheldon koleksiku. Kudengar langkahnya menghampiri.
“Kenapa, Rien?” tanyanya lembut sambil meletakkan tangan ke bahuku.
“Ah, nggak!” Aku coba tersenyum. “Lihat orang berapel-ria di tengah hujan, lucu juga. Ingat anak-anak jadinya. Gerimis begini, pasti malah tambah mesra.”
Mbak Niek ikut tersenyum. Melempar pandangan ke luar jendela. Kami memang tinggal berdua di kos. Yang lain sudah ngacir entah ke mana. Menikmati malam minggunya masing-masing. Dan tentunya dengan pasangan masing-masing pula.
Biasanya aku sendiri malah. Sebab yang belum punya pasangan di kos ini tinggal aku. Kebetulan saja sekarang Mas Gi-nya Mbak Niek ditugaskan ke luar kota oleh kantornya. Jadi bisa menemaniku malam ini. Ada teman ngobrol.
Kalau lagi sendiri pun biasanya aku menghabiskan waktu di depan jendela ini. Menikmati keremangan malam, yang kadang cerah bila bulan penuh dan banyak bintang. Tapi kadang pula sangat kelam bila suasana mendung tanpa bulan dan bintang. Sembari mengisi buku harian, merangkai puisi atau membuat cerpen yang kebanyakan berisi tentang kesendirian, kesunyian, dan penantian yang tak tahu sampai kapan.
“Kenapa sih, kamu nggak pernah mau meluluskan ajakan Pandu? Sekali-sekali kan nggak pa-pa. Daripada tiap malam Minggu kamu bengong sendirian di kos,” ucap Mbak Niek.
Aku tersenyum hambar. Pertanyaan klise dan basi. Kadang aku bosan menjawabnya. Selalu saja teman-teman menanyakan itu. Sudah dijawab kadang bertanya lagi. Padahal jawabanku selalu sama. Takkan pernah berubah.
“Nggak, Mbak,” jawabku agak enggan. Kedengaran berisi.
“Kamu masih mengharapkan Faisal?” tanya Mbak Niek lagi. Kali ini nadanya berhati-hati. “Kenapa kamu tidak berusaha membunuhnya, lalu mengalihkannya pada Pandu?”
Aku mengangkat wajah, menatap Mbak Niek. Tapi aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya berkata dalam hati.
Aku bukannya tidak pernah berusaha. Selalu. Berkali-kali. Entah sudah ratusan, ribuan, atau bahkan mungkin jutaan kali. Kubujuk hatiku untuk menerima kehadiran Pandu. Tapi ternyata tidak semudah yang kusangka.
Kadang aku heran, bercampur iri pada teman-teman lain. Mengapa mereka begitu mudah menerima kehadiran cowok yang memberi perhatian kepada mereka? Ngobrol, jalan bareng, nonton, makan, kemudian mengucap ikrar. Walau kadang kenalannya belum lama. Bahkan baru aja putus dengan pacar terakhir. Ada pula yang masih punya pacar. Begitu mudahnya.
Aku kok tidak bisa begitu. Walau sudah kucoba. Seperti Pandu misalnya. Kami berteman sudah lama. Kami sangat akrab. Aku tak segan bercanda dan menggodanya. Tapi setelah aku tahu dia menyimpan perasaan lain terhadapku, sikapku malah jadi kaku. Ada tirai yang membentengi keakraban kami. Kucoba untuk bersikap biasa. Tapi hati kecilku berontak. Aku tidak bisa lagi bersikap manis padanya. Aku tak bisa munafik.
Akhirnya kuputuskan untuk membuat jarak. Aku tak mau, kemanisan sikapku diartikan memberi harapan. Sebab aku tahu, ternyata itu tak mungkin. Aku tak mampu.
“Apa gunanya mengharapkan dia kalau akhirnya akan sia-sia saja?”
Aku tersenyum. Makin getir.
Bukan sekali ini aku mendapat nasihat senada. Bahkan dari orang yang kuharapkan itu sendiri. Yah, dari Faisal! Walaupun tidak secara langsung.
Kala itu kami sedang ngobrol bertiga. Aku, Faisal, dan Sari. Kadang diselingi canda dan tawa. Topik obrolan semula hanya yang ringan-ringan. Sampai merambat ke soal pacar.
“Kalau soal itu, aku nggak mikirin lagi. Sudah terlanjur beku,” komentar Faisal. “Makanya kalau menyimpan harapan, mending nggak usah, aja! Bunuh! Biar nanti nggak terlanjur kecewe.”
“Ih, siapa pula cewek yang nekat naksir kamu,” serobot Sari sewot yang disambut Faisal dengan tawa.
Tapi aku tahu, Faisal tidak bermaksud bercanda. Dia bicara serius. Dan kurasa itu ditujukan padaku. Sebab aku tahu, dia ngomong sambil mencuri lirik ke wajahku. Cuma aku sengaja menunduk, sehingga sebagian wajahku tertutup rambut. Pura-pura menalikan sepatu kets.
Aku mengeluh. Andai Faisal tahu, betapa kerasnya usahaku untuk menumpas harapan itu. Setiap detik, setiap menit, kuncup-kuncup harapan itu kutebas sampai tuntas. Tapi detik itu juga muncul dan menguncup lagi. Aku sampai bosan dan kelelahan. Akhirnya kubiarkan tumbuh secara alamiah. Karena aku tak berdaya untuk membunuhnya. Biarlah kupelihara! Walau kutahu mungkin itu akan sia-sia.
Aku tak bisa menyalahkan Faisal. Aku tahu dari cerita Yoga, yang pernah dekat dengan Faisal. Faisal pernah dua kali dikecewakan. Pertama dia ditinggalkan ceweknya, padahal sudah diberikan kepercayaan penuh. Cewek itu tak bisa menjaga kesetiaan yang dititipkan padanya. Jarak yang menghalangi perlahan melunturkan kesetiaan itu. Maklum, mereka tinggal di dua kota yang berjauhan. Faisal melanjutkan kuliah dengan merantau ke kota lain. Setahun dia pulang, cewek itu sudah menjadi milik cowok lain.
Kegagalan itu dijadikannya pelajaran berharga, walau tidak berarti putus asa. Buktinya setelah lukanya sembuh, dia menjalin hubungan lagi dengan seorang cewek. Kali ini mereka sekota. Karena Faisal pikir, jarak yang jauhlah yang merenggangkan hubungan mereka.
Mulanya hubungan berjalan mulus dan manis. Tapi lama-lama pertengkaran demi pertengkaran mulai mengguncang. Sang cewek tidak sanggup lagi mentolerir jiwa petualang Faisal. Menurut Yoga, sejak kecil Faisal sangat mencintai alam bebas. Setelah kuliah, hobbynya makin menggila, karena ada wadah untuk menyalurkan. Bahkan Faisal diangkat jadi Ketua Mapala kampus.
Kegiatan petualang Faisal yang tak ada habisnya seperti naik gunung, menyusuri pantai, menjelazah gua dan expedisi-ekspedisi ke pedalaman membuat berkurangnya perhatian Faisal pada ceweknya. Akhirnya sang cewek menjalin hubungan diam-diam dengan cowok lain yang lebih banyak memberi perhatian, sebelum memberi Faisal ultimatum. Seperti dugaannya, Faisal lebih memilih petualangannya, sehingga sang cewek merasa bebas untuk berpaling.
Bisa dimaklumi bila akhirnya Faisal bersikap dingin dan agak sinis. Dua luka yang membiru cukup membuat hatinya beku. Faisal makin tenggelam dalam petualangannya.
Aku menggigit bibir.
Seharusnya Faisal mengerti, aku sendiripun tidak pernah mengingin semua ini. Aku tak pernah berharap jatuh cinta pada tempat yang salah. Tidak pernah. Bahkan aku sama sekali tidak menduga akan bisa jatuh cinta.
Aku memang sering suka pada cowok. Tapi aku belum pernah merasa jatuh cinta. Cuma sekedar kagum dan suka. Aku tak pernah merasa begitu menyayangi. Juga merangkai mimpi dia akan menjadi seorang cowok istimewa, yang akan mendampingi dalam segala suka maupun duka.
Tapi kepada Faisal perasaanku jadi lain. Entah kenapa dan bagaimana aku merasa dialah cowok yang kudambakan selama ini. Entah pesonanya yang mana yang membuatku demikian terlena. Apakah sikapnya yang dewasa, tegar, dan penuh tanggungjawab? Ataukah kharismanya yang selalu terpancar lewat sepasang mata elangnya yang tajam? Atau senyumnya yang agak mahal namun terasa begitu memabukkan?
Yang jelas baru kali inilah aku merasakan perasan sayang yang sangat dalam. Perasaan yang begitu bening dan tulus. Prasaan sakit yang justru terasa nikmat.
Aku tak pernah mengharap banyak dari Faisal. Sungguh! Cukup membuat senyumnya yang mahal itu merekah, aku sudah bahagia. Mampu menciptakan tawanya, sudah membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah berharap lebih. Asal dia bahagia, itulah juga kebahagiaanku.
Apakah ini yang namanya cinta sejati? Cinta yang benar-benar keluar tulus dari lubuk hati? Dan siapa pula yang bisa membunuhnya bila rasa cinta itu mulai bersemi?
Kudengar Mbak Niek menghela napas. Dia kemudian mundur. Mungkin bosan menunggu jawabanku. Kembali tekun dengan bacaannya.
Kalau kujawab pun belum tentu Mbak Niek bisa memahami. Akankah dia percaya bila kukatakan aku bahagia mempunyai cinta walau harus sia-sia? Akankah dia mengerti bila kukatakan kesepian dan kesendirian selama penantian selalu kunikmati? Tidakkah dia akan tertawa bila kukatakan inilah cinta sejati. Aku sangsi.
Gerimis mereda. Angin dinginnya masih menusuk. Tapi mendung yang menyelimuti bulan separo mulai tersibak. Malam jadi lebih cerah.
Ke manakah Faisal menikmati malam ini? Di punggung gunung, atau pesisir pantai, di rimbunan hutan, atau… ah! Di mana pun dia berada akan selalu kukirim doa untuk keselamatan dan kebahagiaannya.
“Ke mana?” tanya Mbak Niek ketika aku beranjak dari jendela.
“Shalat Isya.”
 *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Friday, October 12, 2018

Tantangan Tantri (Bagian 1)


ADA kejutan di hari pertama sekolah, usai liburan panjang Ramadhan dan Lebaran. SMU Bunga Nusa heboh. Lagi-lagi Tantri, cewek blasteran Bali-Chile itu membuat hampir seluruh penghuni sekolah terperangah. Dia mengenakan busana muslimah, seragam serba panjang berikut jilbab yang berkibaran.
Jangankan orang lain, aku sebagai sahabatnya  juga kaget. Memang, lebaran lalu kami bertemu, Tantri sudah tampil dengan busana muslimah. Tapi aku tak pernah menyangka dia akan memakai jilbab seterusnya. Wajar kan di Hari Idul Fitri orang pakai jilbab. Tantri sendiri tidak pernah mengatakan rencananya.
Tapi bukan sekali ini saja Tantri membuat kejutan. Sejak mengenalnya sekitar tiga tahun lalu --- awal masuk kelas satu, Tantri memang penuh kejutan. Bahkan menurutku, apa yang dilakukannya bukan sekedar kejutan, melainkan sebuah gebrakan besar. Bagaimana tidak, di usianya yang masih limabelas, Tantri memutuskan pindah agama, dari semula memeluk Hindu menjadi seorang mualaf.
“Tantri?” Aku membelalak kaget sampai nyaris pingsan ketika Bulan Ramadhan dua tahun lalu Tantri tiba-tiba muncul di hadapanku dengan berkerudung.
“Temani aku ke Mesjid Al-Kautsar, Rin!” pintanya tanpa menghiraukan keherananku.
“Mesjid Al-Kautsar?” Aku semakin bingung.
“Ya. Aku sudah janji dengan Ustadz Baihaqi dan jamaah di sana. Malam ini aku akan mengikrarkan shahadat, menyatakan diri sebagai muslimah.”
Rasanya tak ada yang bisa lebih mengagetkanku selain berita ini. Saking kagetnya, aku sampai tak tahu harus berkata apa atau melakukan apa. Aku hanya bisa menurut ketika Tantri menggamit lenganku, mengajakku menyaksikannya bershahadat di depan jamaah Al-Kautsar.
Di hadapan jamaah pula, Tantri kemudian bercerita bagaimana dia bisa tertarik masuk Islam, sementara dia dididik oleh Ibunya yang asli orang Bali menjadi pemeluk Hindu yang taat. Katanya, sejak kecilpun dia sudah sering mempertanyakan ajaran Hindu yang menurutnya janggal dan tidak masuk akal meski sesudahnya yang dia dapat bukan jawaban melainkan marah ibunya.
Ketika SMP, Orangtuanya bercerai. Ayahnya kembali ke negara asalnya. Sementara ibunya memutuskan pindah dari Pulau Dewata yang dianggap meninggalkan banyak kenangan pahit. Karena berpengalaman bekerja di dunia pariwisata, mudah saja ibunya memperoleh pekerjaan di sebuah biro perjalanan di kota ini. Di sinilah, Tantri kemudian berinteraksi dengan penduduk sekitar yang mayoritas beragama Islam.
“Hampir setengah tahun saya mempelajari Islam dari Bunda Nurul --- istri Ustadz Baihaqi, sebelum akhirnya saya yakin untuk mengikrarkan diri sebagai pengikut Rasulullah Muhammad yang hanya mempercayai dan menyembah Tuhan Yang Esa --- Allah subhanahuataala. Dan terus terang, sampai sekarang Ibu saya sama sekali tidak mengetahui hal ini. Entah bagaimana reaksinya bila saya mengatakannya. Namun, saya siap menghadapi segala resiko dan konsekuensi demi mempertahankan keyakinan saya,” tutur Tantri. Lembut tapi tegas.
Semua terharu mendengar penuturannya. Demikian juga aku. Diam-diam aku semakin kagum padanya. Padahal, saat pertama berkenalan dan memutuskan duduk sebangku, aku sudah mengaguminya. Maklum, darah campuran melahirkan kesempurnaan bentuk lahiriahnya. Tubuhnya tinggi langsing. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Rambutnya panjang dan indah. Seandainya hidup di ibukota, mungkin dia sudah ditawari menjadi bintang iklan atau sinetron.
Selama beberapa bulan menjadi teman sebangku, tak banyak yang kuketahui tentang Tantri selain dia anak tunggal dari seorang ibu yang menjadi single parent. Tantri memang bukan tergolong cewek yang mudah mengumbar masalah pribadi kepada sembarang orang.
Berita Tantri menjadi mualaf menyebar cepat. Semua menyambut baik kabar gembira ini. Mereka memuji keberanian Tantri mengambil keputusan. Mereka mengagumi keteguhan. Bahkan semakin banyak saja cowok yang mendekatinya dan mengaku jatuh cinta padanya.
Tapi tidak semua orang bergembira. Salah satunya adalah Ibu Tantri. Saat mengetahui putri semata wayangnya sudah mengambil putusan penting tanpa terlebih dahulu berunding, dia marah besar dan mengusir Tantri dari rumah. Aku ingat benar saat suatu malam Tantri datang ke rumah dengan membawa tas besar.
Orangtuaku dengan senang hati menerima Tantri. Aku memang sudah bercerita banyak kepada mereka tentang teman sebangkuku itu. Mereka mengaku mengagumi ketabahan dan kedewasaan Tantri. Mereka bahkan sering membandingkan Tantri denganku yang mereka bilang manja dan kekanakan.
Hanya sekitar sebulan Tantri menumpang di rumahku. Suatu hari ibunya datang menjemput. Kerinduan seorang ibu mengalahkan amarahnya. Tantri menganggap Allah menjawab doa yang setiap malam dilantunkannya. Maka ibu dan anak kembali bersama meski dengan keyakinan berbeda.
                                                    *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Sunday, October 7, 2018

Cahaya Berpijar di Bumi Banjar (Bagian 1)


SENJA di muara Sungai Barito selalu tampak indah. Sang bagaskara yang kelelahan sedikit demi sedikit menyembunyikan diri di balik ufuk barat. Cahaya kuning emas melukis semburat di langit sekitarnya, menerpa atap rumah penduduk di pinggiran sungai yang terbuat dari daun rumbia. Sementara perca jingga berhamburan, menghiasi permukaan sungai sehingga tampak berkilau keemasan.
Kenanga tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang demikian memukau itu. Hampir setiap senja, dia datang ke muara Sungai Barito. Terkadang dia berjukung dari Sungai Kuin --- tempat rumah palimasan yang dia tinggali sekeluarga berdiri. Perlahan dia mengayuh dayung, menuju muara Barito. Kemudian bertahan sejenak saat mentari mulai ditelan harison. Menikmati warna jingga yang bertebaran, di langit, sungai, dan juga di sela-sela tiang kapal yang banyak berlabuh di muara Barito.
Namun, sekarang Kenanga hanya duduk di pinggiran tumpakan kecil. Memandang dermaga pelabuhan yang mengikat beberapa kapal. Meresapi hembusan angin sore yang mengundang senja agar cepat datang. Memandangi aktifitas sepanjang pinggir sungai yang sibuk menyambut datangnya malam dengan membersihkan badan, setelah seharian bergelut dengan peluh dan kotoran.
Beberapa lelaki turun dari geladak kapal menggunakan tangga mendekati permukaan sungai. Mereka hanya bercelana pendek. Tubuh yang berwarna tembaga terlihat gempal. Mereka mandi. Sebagian ada yang langsung terjun ke sungai dan berenang di sekitar kapal mereka tertambat. Ada yang hanya duduk di ujung tangga sambil mengguyur badan dengan ciduk batok kelapa.
Mereka adalah para pelaut. Sebagian besar kapal yang berlabuh di Muara Barito datang dari daerah lain. Ada yang dari Pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan beberapa pulau lainnya. Mereka melakukan aktifitas perniagaan, datang membawa barang hasil daerahnya, kemudian pulang membawa hasil dari daerah lain.
Satu dua orang lelaki itu melambai ke arahnya. Kenanga menjawab dengan lambaian pula. Kebetulan, dia mengenal mereka. Kenanga senang berkenalan dengan pelaut dari daerah lain. Dia suka mendengar cerita tentang daerah asal mereka. Dia pun ingin bisa berkunjung ke sana. Keinginan yang mustahil bisa terpenuhi, karena Ayah tidak akan mengizinkannya.
Ingat Ayahnya, Kenanga kembali terngiang percakapan keluarganya pagi tadi.
“Kami memutuskan minta bantuan ke Demak,” ujar Ayah sambil menyantap singkong rebus dan secangkir kopi yang dihidangkan Uma sebagai sarapan.
Tiga kakak lelakinya yang duduk bersila di atas tikar mengelilingi hidangan serta Kenanga dan Uma sama-sama menatap Ayah, menunggu lanjutan cerita. Ayah --- Ragapati, adalah pembantu Patih Masih, penguasa Bandar --- pelabuhan yang berlokasi di Muara Sungai Barito. Itulah sebabnya pelabuhan Sungai Barito ini dinamakan Bandar Masih. Semula hanya sebuah kampung kecil yang akhirnya berkembang menjadi kota pelabuhan.
Kisah Ayah tentang perkembangan politik di daerah mereka memang menarik. Terutama setelah beberapa waktu lalu dia membawa kabar yang cukup mengejutkan.
“Pemuda itu ternyata Pangeran Samudera --- pewaris tahta Negara Dipa. Saat Pamannya --- Arya Temenggung mengambil kesempatan setelah meninggalnya Raja Sukarama sementara pewarisnya Pangeran Samudera belum dewasa dengan merebut kekuasaan. Ternyata dia dan beberapa pengikut setianya berhasil melarikan diri,” cerita Ayah setelah beberapa hari sebelumnya mendadak dipanggil Patih Masih untuk sebuah musyawarah penting.
Kenanga mengenal pemuda yang dimaksud Ayahnya. Kebetulan dia pernah bertemu. Saat itu --- seperti biasa, dia asyik berjalan-jalan di sekitar pelabuhan. Bercengkerama dengan beberapa pelaut yang memang mengenalnya sebagai putra Ragapati --- pembantu kepercayaan Patih Masih. Mereka menghormati dan segan padanya.
Mereka tidak tahu sesungguhnya Kenanga adalah wanita, karena dia selalu memakai pakaian pria. Dia merasa tidak nyaman dan tidak leluasa dengan mengenakan pakaian para gadis umumnya. Dia lebih suka tampil sebagaimana kakak-kakaknya. Lagipula, Ayah tak pernah membeda anak-anaknya. Dia juga mendapatkan didikan dan latihan sebagaimana ketiga kakak lelakinya, termasuk latihan bela diri dan ilmu keprajuritan.
Pemuda itu juga sama terkecohnya. Merasa mereka sebaya, dia menghampiri Kenanga. Dia mengenalkan namanya dengan menanggalkan gelar kebangsawanan. Dia bertanya di mana bisa mendapatkan perlengkapan menangkap ikan yang harganya miring.
Kenanga mengenalkan diri dengan nama Kenang--- perpendekan nama indah Kenangasari yang diberikan Umanya. Dia mulanya merasa heran, karena penampilan pemuda itu tidak seperti nelayan kebanyakan. Meskipun badannya tinggi tegap sebagaimana umumnya nelayan yang pekerja keras, namun kulitnya bersih dan terang. Selain itu, wajahnya juga tampan. Matanya bulat tajam. Alisnya tebal. Hidungnya tinggi. Rahangnya kokoh. Ditambah lagi, tutur bahasanya halus, dan gaya bicaranya sangat sopan. Tampak jelas dia dari kalangan terdidik.
Namun keheranannya tertepis dengan sendirinya melihat pemuda itu tanpa canggung menyiapkan kapal yang baru dibeli berikut lunta dan perlengkapan nelayan lainnya. Gerakannya gesit dan trampil, tanda dia sudah terbiasa.
Ternyata, dugaan Kenanga sama sekali tidak meleset. Pemuda itu bukan orang biasa. Dia keturunan raja yang terusir dari tahta.
“Setelah Patih Masih bermusyawarah dengan Patih Kuin dan Patih Balitung, akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja. Daerah kekuasaannya meliputi Bandar Masih, Kuin, dan Balitung--- dinamakan daerah Banjar. Ketiga patih akan terus mendampingi Pangeran Samudera mengelola Banjar. Jadi, mulai sekarang, kita punya seorang raja. Sebagai istananya, Patih Kuin merelakan Rumah Baanjungnya untuk ditinggali Pangeran Samudera. Dari sanalah pemerintahan akan dijalankan,” ujar Ayah penuh semangat.
Berdirinya Banjar dengan Pangeran Samudera sebagai pucuk pimpinan disambut antusias penduduk ketiga daerah. Sejak itu, denyut kehidupan di daerah tersebut terasa berbeda. Bila mulanya ketiga daerah ini bergerak sendiri-sendiri dengan pimpinannya masing-masing, sekarang mereka bersatu dalam kebersamaan.
Semula, sebagian besar bumi Kalimantan di bagian selatan, termasuk ketiga wilayah ini adalah bagian dari kerajaan Hindu Negara Dipa. Dahulunya, kerajaan ini bernama Negara Daha, dan pusat pemerintahannya terletak di daerah Margasari. Namun, seiring dengan pergantian kekuasaan, kota raja pun sering berpindah-pindah. Terakhir, saat Negara Dipa direbut Arya Temenggung, pemerintahan dipindah ke daerah Muara Bahan.
Ketiga daerah ini, meski mengakui sebagai bagian dari Negara Dipa, namun para pemimpinnya yang tangguh, mengelola sendiri daerahnya. Bandar Masih semakin berkembang menjadi kota pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal besar dari daerah lain, membuat kota pelabuhan ini semakin terbuka dan maju. Demikian juga dua daerah di sekitarnya, Kuin dan Balitung, yang punya masing-masing memiliki sungai besar yang punya akses langsung ke pelabuhan, ikut merasakan dampak kemajuan yang bergulir pesat.
Ketika ketiga daerah mulai bersatu dibawah pimpinan raja yang baru diangkat, kerajaan baru ini semakin maju. Pelabuhan mulai ditata dengan peraturan kerajaan. Perniagaan semakin terbuka. Kemakmuran masyarakat meningkat. Kesejahteraan menjadi gula yang menarik pada pendatang dari daerah pedalaman untuk mengadu nasib di daerah pesisir pelabuhan.
Pesatnya kemajuan Banjar ternyata memancing ketakutan dan kekhawatiran para petinggi Negara Dipa di Muara Bahan. Terlebih setelah Arya Temenggung mengetahui, yang diangkat menjadi raja adalah Pangeran Samudera, keponakan yang telah dia rampas tahtanya. Bila dibiarkan terus besar, bukan tidak mungkin Pangeran Samudera menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam padanya.
Atas pemikiran itulah, Arya Temenggung kemudian mengirim bala tentaranya untuk memerangi Banjar. Daerah yang semula makmur sentosa, mendadak bersiaga perang. Benteng pertahanan berupa jejeran kayu galam berujung runcing dibangun di Sungai Kuin, untuk menahan lajunya gempuran pasukan Negara Dipa.
Namun bagaimanapun saktinya Patih Masih, Patih Kuin, Patih Balitung, dan sejumlah pembantu setia Pangeran Samudera yang lain, digempur terus-terusan oleh pasukan perang  terlatih, membuat mereka akhirnya kewalahan juga. Pasalnya, selama ini mereka hanya berkonsentrasi memajukan pelabuhan dan perniagaan, sama sekali tidak ada persiapan untuk menghadapi perang besar kecuali sesaat setelah mendengar laporan penyerangan dari penduduk desa Anjir yang letaknya berbatasan dengan Muara Bahan.
Para petinggi dan pembantu setia Pangeran Samudera berunding. Ayah sebagai salah satu andalan Patih Masih juga ikut bermusyawarah. Baru tadi pagi dia menyampaikan hasilnya kepada keluarga. Pemberitahuan bahwa dia akan ikut rombongan utusan ke Demak untuk minta bantuan.
“Ayah ikut ke Demak?” tanya  Indrapura --- kakak ketiga Kenanga.
“Ya. Gentanata juga ikut. Sementara kau dan Argapati tetap di sini, membantu pertahanan selama kami tinggalkan,” tegas Ayah.
“Apa Demak mau membantu kita?” tanya Uma sangsi.
“Mudahan mau. Bukankah nenek moyang Pangeran Samudera juga dari tanah Jawa?”
Seketika Kenanga ingat cerita yang pernah dikisahkan Neneknya. Konon raja pertama Negara Daha adalah pangeran dari Kerajaan Majapahit --- Suryanata,  menikah dengan Putri Junjung Buih --- putri yang tiba-tiba muncul dari buih sungai Barito sebagai jawaban tapa Lambung Mangkurat, pendiri kerajaan Negara Daha yang juga berasal dari tanah Jawa.
“Iya, tapi itu dulu. Sekarang kabarnya berbeda. Bahkan katanya Demak menganut kepercayaan yang berbeda dengan kita. Agama yang disebut Islam,” tambah Argapati.
Kenanga tercenung. Tiba-tiba saja dia teringat Malik --- seorang pelaut kenalannya. Dia juga dari Jawa, dan juga mengaku menganut Agama Islam. Saat itu Kenanga sangat tertarik bertanya tentang agamanya. Pasalnya, Islam hanya mengakui satu Tuhan.
Sejak kecil, Kenanga memang sering mangkir bila diajak ke kuil. Dia tidak suka menyembah-nyembah tiga patung dewa yang ada di sana. Ayahnya lebih suka memuja Syiwa, sementara Uma lebih sering menyembahyangi Brahma. Guru silat keluarganya --- Datuk Ganggapati, menyembah Wisnu. Ini membingungkan Kenanga. Apa ketiga dewa itu tidak saling iri dan kemudian berebut penyembah? Meski para orangtua itu menjelaskan bahwa dewa trimurti hakekatnya adalah satu, namun akalnya tak mampu menerima. Bagaimana mungkin ada Dewa perusak dan ada Dewa Pemelihara? Bukankah tujuan keduanya bertentangan? Bagaimana bisa satu?
Ketidakmengertian membuat Kenanga sering melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Dia sering mencuri sesajen yang setiap malam tertentu disediakan Umanya. Dia juga selalu menolak bisa disuruh melakukan ritual yang menurutnya tidak masuk akal. Kenanga bahkan tidak mau menerima hadiah senjata sakti yang diberikan padanya karena senjata-senjata tersebut menuntut ritual yang dianggapnya akan membebaninya.
“Keris kan senjata untuk dimanfaatkan pemiliknya. Bagaimana mungkin keris bisa memanfaatkan pemilik untuk memenuhi tuntutannya; mandi kembang tiap malam tertentu dan minta sesajen sesuai keinginan? Yang bodoh itu siapa?” ucap Kenanga yang langsung disambut kemarahan Ayah dan kakak-kakaknya.
Namun Kenanga memang keras kepala. Tak ada yang bisa memaksanya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Sebaliknya, bila dia menginginkan sesuatu, tak ada pula yang bisa mencegahnya. Dan sekarang, dia ingin ikut ke Demak.
Demak mengingatkannya kepada Malik, sahabat pelautnya. Karena keduanya memiliki satu hal yang sama, Islam. Sebuah kata yang menurut Kenanga punya daya tarik kuat.
“Islam hanya percaya satu Tuhan, yang menguasai seluruh alam semesta--- yang menghidupkan dan mematikan, yang menciptakan ataupun menghancurkan, yang menurunkan gerimis sekaligus meniupkan badai, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di alam.”
“Bagaimana mungkin stupa bisa berbuat seperti itu?”
“Tuhan orang Islam tidak berbentuk stupa.”
“Lalu? Berupa pohon besar? Atau api?” Kenanga bertanya karena pernah melihat penduduk pedalaman melakukan ritual untuk memuja benda-benda tersebut.
Malik menggeleng. “Tidak. Tidak semua itu.”
“Lalu?”
“Tuhan kami tidak sama dengan makhluk atau ciptaan-Nya yang lain. Bagaimana mungkin Sang Pencipta sama dengan hasil ciptaan-Nya?”
“Jadi?”
“Jadi, Dia adalah Dzat yang tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, tak mungkin terpecahkan oleh akal, tak mungkin teraba oleh rasa, tapi Dia benar-benar ada. Kita tahu Dia ada karena memang terbukti Dia ada. Karena Dia seringkali membuktikan keberadaan-Nya.”
Kening Kenanga berkerut. Sebenarnya banyak lagi yang ingin diketahuinya. Entah kenapa, dia merasa telah menemukan setitik cahaya. Sayang, ketika itu Malik harus kembali berlayar, meninggalkan sejuta tanda tanya besar yang masih belum terjawab tentang Dzat yang menurut Malik adalah segalanya. Dan setitik cahaya itu pun perlahan bagai bara yang mulai meredup.
Tapi, saat mendengar Demak, Kenanga bagai kembali melihat seberkas asa. Ada kemungkinan dia akan memperoleh jawaban dari sejuta tanya yang selama ini dipendamnya. Bukan tidak mungkin di Demak, pencariannya terhadap Dzat yang menggugah rasa penasaran itu akan berujung. Tapi, bagaimana mungkin dia bisa sampai ke sana?
Kenanga kembali tercenung, memandang senja yang kian hilang ditelan cakrawala. Mungkinkah jawaban pertanyaannya juga masih tersembunyi di balik sana? Dia harus mengejar setitik cahaya yang masih tersisa  sebelum benar-benar lenyap tenggelam dalam kelam.
*** Bersanbung ke bagian berikutnya, ya...! ***

Monday, October 1, 2018

Bila Cinta Telah Datang (Bagian 1)


“BURUAN dong, Ly! Entar kita telat, nih!” desak teman-temannya yang sudah siap di atas sadel motor masing-masing.
Ully memandang wajah teman-temannya dengan bingung. Didesak begitu malah membuatnya tak bisa berpikir.
“Mau ikut nggak, nih?”
Ully menatap Dian, minta pertimbangan. Hanya sahabatnya itulah yang mengerti apermasalahannya.
Dian tersenyum. “Jujurlah pada diri sendiri!”
Ully mendesah. Kalau mau jujur, dia memang ingin sekali ikut. Sangat ingin. Sudah lama sekali ia tidak melihat cowok itu beraksi di lapangan basket. Dia sudah rindu gayanya. Larinya, loncatannya, tembakannya. Ah!
“Tapi…”
“Kamu takut?” potong Dian cepat. “Dia toh tidak akan menggigitmu…”
Ully tercenung.
Suara raungan gas makin mengeras. Sedetik sebelum teman-temannya buka suara, Ully segera naik ke boncengan motor Dian.
Dian menyambutnya dengan senyuman.
Iring-iringan motor itu pun melaju di jalan, menuju lapangan basket Gelanggang Remaja.

*** Bersambung ke Bagian Selanjutnya, ya...! ***