ADA
kejutan di hari pertama sekolah, usai liburan panjang Ramadhan dan Lebaran. SMU
Bunga Nusa heboh. Lagi-lagi Tantri, cewek blasteran Bali-Chile itu membuat
hampir seluruh penghuni sekolah terperangah. Dia mengenakan busana muslimah,
seragam serba panjang berikut jilbab yang berkibaran.
Jangankan
orang lain, aku sebagai sahabatnya juga
kaget. Memang, lebaran lalu kami bertemu, Tantri sudah tampil dengan busana
muslimah. Tapi aku tak pernah menyangka dia akan memakai jilbab seterusnya.
Wajar kan di Hari Idul Fitri orang pakai jilbab. Tantri sendiri tidak pernah
mengatakan rencananya.
Tapi
bukan sekali ini saja Tantri membuat kejutan. Sejak mengenalnya sekitar tiga
tahun lalu --- awal masuk kelas satu, Tantri memang penuh kejutan. Bahkan
menurutku, apa yang dilakukannya bukan sekedar kejutan, melainkan sebuah
gebrakan besar. Bagaimana tidak, di usianya yang masih limabelas, Tantri
memutuskan pindah agama, dari semula memeluk Hindu menjadi seorang mualaf.
“Tantri?”
Aku membelalak kaget sampai nyaris pingsan ketika Bulan Ramadhan dua tahun lalu
Tantri tiba-tiba muncul di hadapanku dengan berkerudung.
“Temani
aku ke Mesjid Al-Kautsar, Rin!” pintanya tanpa menghiraukan keherananku.
“Mesjid
Al-Kautsar?” Aku semakin bingung.
“Ya.
Aku sudah janji dengan Ustadz Baihaqi dan jamaah di sana. Malam ini aku akan
mengikrarkan shahadat, menyatakan diri sebagai muslimah.”
Rasanya
tak ada yang bisa lebih mengagetkanku selain berita ini. Saking kagetnya, aku
sampai tak tahu harus berkata apa atau melakukan apa. Aku hanya bisa menurut
ketika Tantri menggamit lenganku, mengajakku menyaksikannya bershahadat di
depan jamaah Al-Kautsar.
Di
hadapan jamaah pula, Tantri kemudian bercerita bagaimana dia bisa tertarik
masuk Islam, sementara dia dididik oleh Ibunya yang asli orang Bali menjadi
pemeluk Hindu yang taat. Katanya, sejak kecilpun dia sudah sering mempertanyakan
ajaran Hindu yang menurutnya janggal dan tidak masuk akal meski sesudahnya yang
dia dapat bukan jawaban melainkan marah ibunya.
Ketika
SMP, Orangtuanya bercerai. Ayahnya kembali ke negara asalnya. Sementara ibunya
memutuskan pindah dari Pulau Dewata yang dianggap meninggalkan banyak kenangan
pahit. Karena berpengalaman bekerja di dunia pariwisata, mudah saja ibunya
memperoleh pekerjaan di sebuah biro perjalanan di kota ini. Di sinilah, Tantri
kemudian berinteraksi dengan penduduk sekitar yang mayoritas beragama Islam.
“Hampir
setengah tahun saya mempelajari Islam dari Bunda Nurul --- istri Ustadz
Baihaqi, sebelum akhirnya saya yakin untuk mengikrarkan diri sebagai pengikut
Rasulullah Muhammad yang hanya mempercayai dan menyembah Tuhan Yang Esa ---
Allah subhanahuataala. Dan terus terang, sampai sekarang Ibu saya sama sekali
tidak mengetahui hal ini. Entah bagaimana reaksinya bila saya mengatakannya.
Namun, saya siap menghadapi segala resiko dan konsekuensi demi mempertahankan
keyakinan saya,” tutur Tantri. Lembut tapi tegas.
Semua
terharu mendengar penuturannya. Demikian juga aku. Diam-diam aku semakin kagum
padanya. Padahal, saat pertama berkenalan dan memutuskan duduk sebangku, aku
sudah mengaguminya. Maklum, darah campuran melahirkan kesempurnaan bentuk
lahiriahnya. Tubuhnya tinggi langsing. Kulitnya putih bersih. Hidungnya
mancung. Rambutnya panjang dan indah. Seandainya hidup di ibukota, mungkin dia
sudah ditawari menjadi bintang iklan atau sinetron.
Selama
beberapa bulan menjadi teman sebangku, tak banyak yang kuketahui tentang Tantri
selain dia anak tunggal dari seorang ibu yang menjadi single parent.
Tantri memang bukan tergolong cewek yang mudah mengumbar masalah pribadi kepada
sembarang orang.
Berita
Tantri menjadi mualaf menyebar cepat. Semua menyambut baik kabar gembira ini.
Mereka memuji keberanian Tantri mengambil keputusan. Mereka mengagumi
keteguhan. Bahkan semakin banyak saja cowok yang mendekatinya dan mengaku jatuh
cinta padanya.
Tapi
tidak semua orang bergembira. Salah satunya adalah Ibu Tantri. Saat mengetahui
putri semata wayangnya sudah mengambil putusan penting tanpa terlebih dahulu
berunding, dia marah besar dan mengusir Tantri dari rumah. Aku ingat benar saat
suatu malam Tantri datang ke rumah dengan membawa tas besar.
Orangtuaku
dengan senang hati menerima Tantri. Aku memang sudah bercerita banyak kepada
mereka tentang teman sebangkuku itu. Mereka mengaku mengagumi ketabahan dan
kedewasaan Tantri. Mereka bahkan sering membandingkan Tantri denganku yang
mereka bilang manja dan kekanakan.
Hanya
sekitar sebulan Tantri menumpang di rumahku. Suatu hari ibunya datang
menjemput. Kerinduan seorang ibu mengalahkan amarahnya. Tantri menganggap Allah
menjawab doa yang setiap malam dilantunkannya. Maka ibu dan anak kembali
bersama meski dengan keyakinan berbeda.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.