SENJA di muara Sungai Barito
selalu tampak indah. Sang bagaskara yang kelelahan sedikit demi sedikit
menyembunyikan diri di balik ufuk barat. Cahaya kuning emas melukis semburat di
langit sekitarnya, menerpa atap rumah penduduk di pinggiran sungai yang terbuat
dari daun rumbia. Sementara perca jingga berhamburan, menghiasi permukaan
sungai sehingga tampak berkilau keemasan.
Kenanga tak pernah bosan menikmati lukisan alam
yang demikian memukau itu. Hampir setiap senja, dia datang ke muara Sungai
Barito. Terkadang dia berjukung dari Sungai Kuin --- tempat rumah palimasan
yang dia tinggali sekeluarga berdiri. Perlahan dia mengayuh dayung, menuju
muara Barito. Kemudian bertahan sejenak saat mentari mulai ditelan harison.
Menikmati warna jingga yang bertebaran, di langit, sungai, dan juga di
sela-sela tiang kapal yang banyak berlabuh di muara Barito.
Namun, sekarang Kenanga hanya duduk di pinggiran
tumpakan kecil. Memandang dermaga pelabuhan yang mengikat beberapa kapal.
Meresapi hembusan angin sore yang mengundang senja agar cepat datang.
Memandangi aktifitas sepanjang pinggir sungai yang sibuk menyambut datangnya
malam dengan membersihkan badan, setelah seharian bergelut dengan peluh dan
kotoran.
Beberapa lelaki turun dari geladak kapal
menggunakan tangga mendekati permukaan sungai. Mereka hanya bercelana pendek.
Tubuh yang berwarna tembaga terlihat gempal. Mereka mandi. Sebagian ada yang
langsung terjun ke sungai dan berenang di sekitar kapal mereka tertambat. Ada
yang hanya duduk di ujung tangga sambil mengguyur badan dengan ciduk batok
kelapa.
Mereka adalah para pelaut. Sebagian besar kapal
yang berlabuh di Muara Barito datang dari daerah lain. Ada yang dari Pulau
Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan beberapa pulau lainnya. Mereka melakukan
aktifitas perniagaan, datang membawa barang hasil daerahnya, kemudian pulang
membawa hasil dari daerah lain.
Satu dua orang lelaki itu melambai ke arahnya.
Kenanga menjawab dengan lambaian pula. Kebetulan, dia mengenal mereka. Kenanga
senang berkenalan dengan pelaut dari daerah lain. Dia suka mendengar cerita
tentang daerah asal mereka. Dia pun ingin bisa berkunjung ke sana. Keinginan
yang mustahil bisa terpenuhi, karena Ayah tidak akan mengizinkannya.
Ingat Ayahnya, Kenanga kembali terngiang
percakapan keluarganya pagi tadi.
“Kami memutuskan minta bantuan ke Demak,” ujar
Ayah sambil menyantap singkong rebus dan secangkir kopi yang dihidangkan Uma
sebagai sarapan.
Tiga kakak lelakinya yang duduk bersila di atas
tikar mengelilingi hidangan serta Kenanga dan Uma sama-sama menatap Ayah,
menunggu lanjutan cerita. Ayah --- Ragapati, adalah pembantu Patih Masih,
penguasa Bandar --- pelabuhan yang berlokasi di Muara Sungai Barito. Itulah
sebabnya pelabuhan Sungai Barito ini dinamakan Bandar Masih. Semula hanya
sebuah kampung kecil yang akhirnya berkembang menjadi kota pelabuhan.
Kisah Ayah tentang perkembangan politik di daerah
mereka memang menarik. Terutama setelah beberapa waktu lalu dia membawa kabar
yang cukup mengejutkan.
“Pemuda itu ternyata Pangeran Samudera --- pewaris
tahta Negara Dipa. Saat Pamannya --- Arya Temenggung mengambil kesempatan
setelah meninggalnya Raja Sukarama sementara pewarisnya Pangeran Samudera belum
dewasa dengan merebut kekuasaan. Ternyata dia dan beberapa pengikut setianya
berhasil melarikan diri,” cerita Ayah setelah beberapa hari sebelumnya mendadak
dipanggil Patih Masih untuk sebuah musyawarah penting.
Kenanga mengenal pemuda yang dimaksud Ayahnya.
Kebetulan dia pernah bertemu. Saat itu --- seperti biasa, dia asyik
berjalan-jalan di sekitar pelabuhan. Bercengkerama dengan beberapa pelaut yang
memang mengenalnya sebagai putra Ragapati --- pembantu kepercayaan Patih Masih.
Mereka menghormati dan segan padanya.
Mereka tidak tahu sesungguhnya Kenanga adalah
wanita, karena dia selalu memakai pakaian pria. Dia merasa tidak nyaman dan
tidak leluasa dengan mengenakan pakaian para gadis umumnya. Dia lebih suka
tampil sebagaimana kakak-kakaknya. Lagipula, Ayah tak pernah membeda
anak-anaknya. Dia juga mendapatkan didikan dan latihan sebagaimana ketiga kakak
lelakinya, termasuk latihan bela diri dan ilmu keprajuritan.
Pemuda itu juga sama terkecohnya. Merasa mereka
sebaya, dia menghampiri Kenanga. Dia mengenalkan namanya dengan menanggalkan
gelar kebangsawanan. Dia bertanya di mana bisa mendapatkan perlengkapan
menangkap ikan yang harganya miring.
Kenanga mengenalkan diri
dengan nama Kenang--- perpendekan nama indah Kenangasari yang diberikan Umanya.
Dia mulanya merasa heran, karena penampilan pemuda itu tidak seperti nelayan
kebanyakan. Meskipun badannya tinggi tegap sebagaimana umumnya nelayan yang
pekerja keras, namun kulitnya bersih dan terang. Selain itu, wajahnya juga
tampan. Matanya bulat tajam. Alisnya tebal. Hidungnya tinggi. Rahangnya kokoh.
Ditambah lagi, tutur bahasanya halus, dan gaya bicaranya sangat sopan. Tampak jelas
dia dari kalangan terdidik.
Namun keheranannya tertepis dengan sendirinya
melihat pemuda itu tanpa canggung menyiapkan kapal yang baru dibeli berikut lunta dan perlengkapan nelayan lainnya.
Gerakannya gesit dan trampil, tanda dia sudah terbiasa.
Ternyata, dugaan Kenanga sama sekali tidak
meleset. Pemuda itu bukan orang biasa. Dia keturunan raja yang terusir dari
tahta.
“Setelah Patih Masih bermusyawarah dengan Patih
Kuin dan Patih Balitung, akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat Pangeran
Samudera sebagai raja. Daerah kekuasaannya meliputi Bandar Masih, Kuin, dan
Balitung--- dinamakan daerah Banjar. Ketiga patih akan terus mendampingi
Pangeran Samudera mengelola Banjar. Jadi, mulai sekarang, kita punya seorang
raja. Sebagai istananya, Patih Kuin merelakan Rumah Baanjungnya untuk
ditinggali Pangeran Samudera. Dari sanalah pemerintahan akan dijalankan,” ujar
Ayah penuh semangat.
Berdirinya Banjar dengan Pangeran Samudera sebagai
pucuk pimpinan disambut antusias penduduk ketiga daerah. Sejak itu, denyut
kehidupan di daerah tersebut terasa berbeda. Bila mulanya ketiga daerah ini
bergerak sendiri-sendiri dengan pimpinannya masing-masing, sekarang mereka
bersatu dalam kebersamaan.
Semula, sebagian besar bumi Kalimantan di bagian
selatan, termasuk ketiga wilayah ini adalah bagian dari kerajaan Hindu Negara
Dipa. Dahulunya, kerajaan ini bernama Negara Daha, dan pusat pemerintahannya
terletak di daerah Margasari. Namun, seiring dengan pergantian kekuasaan, kota
raja pun sering berpindah-pindah. Terakhir, saat Negara Dipa direbut Arya
Temenggung, pemerintahan dipindah ke daerah Muara Bahan.
Ketiga daerah ini, meski mengakui sebagai bagian
dari Negara Dipa, namun para pemimpinnya yang tangguh, mengelola sendiri
daerahnya. Bandar Masih semakin berkembang menjadi kota pelabuhan yang banyak
disinggahi kapal-kapal besar dari daerah lain, membuat kota pelabuhan ini
semakin terbuka dan maju. Demikian juga dua daerah di sekitarnya, Kuin dan
Balitung, yang punya masing-masing memiliki sungai besar yang punya akses langsung
ke pelabuhan, ikut merasakan dampak kemajuan yang bergulir pesat.
Ketika ketiga daerah mulai bersatu dibawah
pimpinan raja yang baru diangkat, kerajaan baru ini semakin maju. Pelabuhan
mulai ditata dengan peraturan kerajaan. Perniagaan semakin terbuka. Kemakmuran
masyarakat meningkat. Kesejahteraan menjadi gula yang menarik pada pendatang
dari daerah pedalaman untuk mengadu nasib di daerah pesisir pelabuhan.
Pesatnya kemajuan Banjar ternyata memancing
ketakutan dan kekhawatiran para petinggi Negara Dipa di Muara Bahan. Terlebih
setelah Arya Temenggung mengetahui, yang diangkat menjadi raja adalah Pangeran
Samudera, keponakan yang telah dia rampas tahtanya. Bila dibiarkan terus besar,
bukan tidak mungkin Pangeran Samudera menggunakan kekuasaannya untuk membalas
dendam padanya.
Atas pemikiran itulah, Arya Temenggung kemudian
mengirim bala tentaranya untuk memerangi Banjar. Daerah yang semula makmur
sentosa, mendadak bersiaga perang. Benteng pertahanan berupa jejeran kayu galam
berujung runcing dibangun di Sungai Kuin, untuk menahan lajunya gempuran
pasukan Negara Dipa.
Namun bagaimanapun saktinya Patih Masih, Patih
Kuin, Patih Balitung, dan sejumlah pembantu setia Pangeran Samudera yang lain,
digempur terus-terusan oleh pasukan perang
terlatih, membuat mereka akhirnya kewalahan juga. Pasalnya, selama ini
mereka hanya berkonsentrasi memajukan pelabuhan dan perniagaan, sama sekali
tidak ada persiapan untuk menghadapi perang besar kecuali sesaat setelah
mendengar laporan penyerangan dari penduduk desa Anjir yang letaknya berbatasan
dengan Muara Bahan.
Para petinggi dan pembantu setia Pangeran Samudera
berunding. Ayah sebagai salah satu andalan Patih Masih juga ikut bermusyawarah.
Baru tadi pagi dia menyampaikan hasilnya kepada keluarga. Pemberitahuan bahwa
dia akan ikut rombongan utusan ke Demak untuk minta bantuan.
“Ayah ikut ke Demak?” tanya Indrapura --- kakak ketiga Kenanga.
“Ya. Gentanata juga ikut. Sementara kau dan
Argapati tetap di sini, membantu pertahanan selama kami tinggalkan,” tegas
Ayah.
“Apa Demak mau membantu kita?” tanya Uma sangsi.
“Mudahan mau. Bukankah nenek moyang Pangeran
Samudera juga dari tanah Jawa?”
Seketika Kenanga ingat cerita yang pernah
dikisahkan Neneknya. Konon raja pertama Negara Daha adalah pangeran dari
Kerajaan Majapahit --- Suryanata,
menikah dengan Putri Junjung Buih --- putri yang tiba-tiba muncul dari
buih sungai Barito sebagai jawaban tapa Lambung Mangkurat, pendiri kerajaan
Negara Daha yang juga berasal dari tanah Jawa.
“Iya, tapi itu dulu. Sekarang kabarnya berbeda. Bahkan
katanya Demak menganut kepercayaan yang berbeda dengan kita. Agama yang disebut
Islam,” tambah Argapati.
Kenanga tercenung. Tiba-tiba saja dia teringat
Malik --- seorang pelaut kenalannya. Dia juga dari Jawa, dan juga mengaku
menganut Agama Islam. Saat itu Kenanga sangat tertarik bertanya tentang
agamanya. Pasalnya, Islam hanya mengakui satu Tuhan.
Sejak kecil, Kenanga memang sering mangkir bila
diajak ke kuil. Dia tidak suka menyembah-nyembah tiga patung dewa yang ada di
sana. Ayahnya lebih suka memuja Syiwa, sementara Uma lebih sering
menyembahyangi Brahma. Guru silat keluarganya --- Datuk Ganggapati, menyembah
Wisnu. Ini membingungkan Kenanga. Apa ketiga dewa itu tidak saling iri dan
kemudian berebut penyembah? Meski para orangtua itu menjelaskan bahwa dewa
trimurti hakekatnya adalah satu, namun akalnya tak mampu menerima. Bagaimana
mungkin ada Dewa perusak dan ada Dewa Pemelihara? Bukankah tujuan keduanya
bertentangan? Bagaimana bisa satu?
Ketidakmengertian membuat Kenanga sering melakukan
kenakalan-kenakalan kecil. Dia sering mencuri sesajen yang setiap malam
tertentu disediakan Umanya. Dia juga selalu menolak bisa disuruh melakukan
ritual yang menurutnya tidak masuk akal. Kenanga bahkan tidak mau menerima
hadiah senjata sakti yang diberikan padanya karena senjata-senjata tersebut
menuntut ritual yang dianggapnya akan membebaninya.
“Keris kan senjata untuk dimanfaatkan pemiliknya.
Bagaimana mungkin keris bisa memanfaatkan pemilik untuk memenuhi tuntutannya;
mandi kembang tiap malam tertentu dan minta sesajen sesuai keinginan? Yang
bodoh itu siapa?” ucap Kenanga yang langsung disambut kemarahan Ayah dan
kakak-kakaknya.
Namun Kenanga memang keras kepala. Tak ada yang
bisa memaksanya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Sebaliknya, bila
dia menginginkan sesuatu, tak ada pula yang bisa mencegahnya. Dan sekarang, dia
ingin ikut ke Demak.
Demak mengingatkannya kepada Malik, sahabat
pelautnya. Karena keduanya memiliki satu hal yang sama, Islam. Sebuah kata yang
menurut Kenanga punya daya tarik kuat.
“Islam hanya percaya satu Tuhan, yang menguasai
seluruh alam semesta--- yang menghidupkan dan mematikan, yang menciptakan
ataupun menghancurkan, yang menurunkan gerimis sekaligus meniupkan badai,
pokoknya segala sesuatu yang terjadi di alam.”
“Bagaimana mungkin stupa bisa berbuat seperti
itu?”
“Tuhan orang Islam tidak berbentuk stupa.”
“Lalu? Berupa pohon besar? Atau api?” Kenanga
bertanya karena pernah melihat penduduk pedalaman melakukan ritual untuk memuja
benda-benda tersebut.
Malik menggeleng. “Tidak. Tidak semua itu.”
“Lalu?”
“Tuhan kami tidak sama dengan makhluk atau
ciptaan-Nya yang lain. Bagaimana mungkin Sang Pencipta sama dengan hasil
ciptaan-Nya?”
“Jadi?”
“Jadi, Dia adalah Dzat yang tak mungkin
diungkapkan dengan kata-kata, tak mungkin terpecahkan oleh akal, tak mungkin
teraba oleh rasa, tapi Dia benar-benar ada. Kita tahu Dia ada karena memang
terbukti Dia ada. Karena Dia seringkali membuktikan keberadaan-Nya.”
Kening Kenanga berkerut. Sebenarnya banyak lagi
yang ingin diketahuinya. Entah kenapa, dia merasa telah menemukan setitik
cahaya. Sayang, ketika itu Malik harus kembali berlayar, meninggalkan sejuta
tanda tanya besar yang masih belum terjawab tentang Dzat yang menurut Malik
adalah segalanya. Dan setitik cahaya itu pun perlahan bagai bara yang mulai
meredup.
Tapi, saat mendengar Demak, Kenanga bagai kembali
melihat seberkas asa. Ada kemungkinan dia akan memperoleh jawaban dari sejuta
tanya yang selama ini dipendamnya. Bukan tidak mungkin di Demak, pencariannya
terhadap Dzat yang menggugah rasa penasaran itu akan berujung. Tapi, bagaimana
mungkin dia bisa sampai ke sana?
Kenanga kembali tercenung, memandang senja yang
kian hilang ditelan cakrawala. Mungkinkah jawaban pertanyaannya juga masih
tersembunyi di balik sana? Dia harus mengejar setitik cahaya yang masih
tersisa sebelum benar-benar lenyap
tenggelam dalam kelam.
*** Bersanbung ke bagian berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.