Airin
ANGIN
yang membawa titik gerimis menerpa kaca jendela. Membentuk
kristal-kristal bening yang meleleh perlahan. Kaca bagian dalam berkabut.
Menambah suram remang malam yang hanya diterangi sisa penerangan di jalan.
Aku
menghapus kabut dengan telapak tangan. Terasa dingin. Jauh menusuk sampai sudut
terdalam. Gerimis tidak menghalangi seliweran orang di jalan. Maklum malam
Minggu. Hujan deras tak mampu meredam cinta yang membara.
Aku
menghela napas. Suara hempasan udara yang keluar agaknya mengusik keasyikan
Mbak Niek yang sedang membaca novel Sidney Sheldon koleksiku. Kudengar
langkahnya menghampiri.
“Kenapa,
Rien?” tanyanya lembut sambil meletakkan tangan ke bahuku.
“Ah,
nggak!” Aku coba tersenyum. “Lihat orang berapel-ria di tengah hujan, lucu
juga. Ingat anak-anak jadinya. Gerimis begini, pasti malah tambah mesra.”
Mbak
Niek ikut tersenyum. Melempar pandangan ke luar jendela. Kami memang tinggal
berdua di kos. Yang lain sudah ngacir entah ke mana. Menikmati malam minggunya
masing-masing. Dan tentunya dengan pasangan masing-masing pula.
Biasanya
aku sendiri malah. Sebab yang belum punya pasangan di kos ini tinggal aku.
Kebetulan saja sekarang Mas Gi-nya Mbak Niek ditugaskan ke luar kota oleh
kantornya. Jadi bisa menemaniku malam ini. Ada teman ngobrol.
Kalau
lagi sendiri pun biasanya aku menghabiskan waktu di depan jendela ini.
Menikmati keremangan malam, yang kadang cerah bila bulan penuh dan banyak
bintang. Tapi kadang pula sangat kelam bila suasana mendung tanpa bulan dan
bintang. Sembari mengisi buku harian, merangkai puisi atau membuat cerpen yang
kebanyakan berisi tentang kesendirian, kesunyian, dan penantian yang tak tahu
sampai kapan.
“Kenapa
sih, kamu nggak pernah mau meluluskan ajakan Pandu? Sekali-sekali kan nggak
pa-pa. Daripada tiap malam Minggu kamu bengong sendirian di kos,” ucap Mbak
Niek.
Aku
tersenyum hambar. Pertanyaan klise dan basi. Kadang aku bosan menjawabnya.
Selalu saja teman-teman menanyakan itu. Sudah dijawab kadang bertanya lagi.
Padahal jawabanku selalu sama. Takkan pernah berubah.
“Nggak,
Mbak,” jawabku agak enggan. Kedengaran berisi.
“Kamu
masih mengharapkan Faisal?” tanya Mbak Niek lagi. Kali ini nadanya
berhati-hati. “Kenapa kamu tidak berusaha membunuhnya, lalu mengalihkannya pada
Pandu?”
Aku
mengangkat wajah, menatap Mbak Niek. Tapi aku tidak menjawab pertanyaannya.
Hanya berkata dalam hati.
Aku
bukannya tidak pernah berusaha. Selalu. Berkali-kali. Entah sudah ratusan,
ribuan, atau bahkan mungkin jutaan kali. Kubujuk hatiku untuk menerima
kehadiran Pandu. Tapi ternyata tidak semudah yang kusangka.
Kadang
aku heran, bercampur iri pada teman-teman lain. Mengapa mereka begitu mudah
menerima kehadiran cowok yang memberi perhatian kepada mereka? Ngobrol, jalan
bareng, nonton, makan, kemudian mengucap ikrar. Walau kadang kenalannya belum
lama. Bahkan baru aja putus dengan pacar terakhir. Ada pula yang masih punya
pacar. Begitu mudahnya.
Aku
kok tidak bisa begitu. Walau sudah kucoba. Seperti Pandu misalnya. Kami
berteman sudah lama. Kami sangat akrab. Aku tak segan bercanda dan menggodanya.
Tapi setelah aku tahu dia menyimpan perasaan lain terhadapku, sikapku malah
jadi kaku. Ada tirai yang membentengi keakraban kami. Kucoba untuk bersikap
biasa. Tapi hati kecilku berontak. Aku tidak bisa lagi bersikap manis padanya.
Aku tak bisa munafik.
Akhirnya
kuputuskan untuk membuat jarak. Aku tak mau, kemanisan sikapku diartikan
memberi harapan. Sebab aku tahu, ternyata itu tak mungkin. Aku tak mampu.
“Apa
gunanya mengharapkan dia kalau akhirnya akan sia-sia saja?”
Aku
tersenyum. Makin getir.
Bukan
sekali ini aku mendapat nasihat senada. Bahkan dari orang yang kuharapkan itu
sendiri. Yah, dari Faisal! Walaupun tidak secara langsung.
Kala
itu kami sedang ngobrol bertiga. Aku, Faisal, dan Sari. Kadang diselingi canda
dan tawa. Topik obrolan semula hanya yang ringan-ringan. Sampai merambat ke
soal pacar.
“Kalau
soal itu, aku nggak mikirin lagi. Sudah terlanjur beku,” komentar Faisal.
“Makanya kalau menyimpan harapan, mending nggak usah, aja! Bunuh! Biar nanti
nggak terlanjur kecewe.”
“Ih,
siapa pula cewek yang nekat naksir kamu,” serobot Sari sewot yang disambut
Faisal dengan tawa.
Tapi
aku tahu, Faisal tidak bermaksud bercanda. Dia bicara serius. Dan kurasa itu
ditujukan padaku. Sebab aku tahu, dia ngomong sambil mencuri lirik ke wajahku.
Cuma aku sengaja menunduk, sehingga sebagian wajahku tertutup rambut. Pura-pura
menalikan sepatu kets.
Aku
mengeluh. Andai Faisal tahu, betapa kerasnya usahaku untuk menumpas harapan
itu. Setiap detik, setiap menit, kuncup-kuncup harapan itu kutebas sampai
tuntas. Tapi detik itu juga muncul dan menguncup lagi. Aku sampai bosan dan
kelelahan. Akhirnya kubiarkan tumbuh secara alamiah. Karena aku tak berdaya
untuk membunuhnya. Biarlah kupelihara! Walau kutahu mungkin itu akan sia-sia.
Aku
tak bisa menyalahkan Faisal. Aku tahu dari cerita Yoga, yang pernah dekat
dengan Faisal. Faisal pernah dua kali dikecewakan. Pertama dia ditinggalkan
ceweknya, padahal sudah diberikan kepercayaan penuh. Cewek itu tak bisa menjaga
kesetiaan yang dititipkan padanya. Jarak yang menghalangi perlahan melunturkan
kesetiaan itu. Maklum, mereka tinggal di dua kota yang berjauhan. Faisal
melanjutkan kuliah dengan merantau ke kota lain. Setahun dia pulang, cewek itu
sudah menjadi milik cowok lain.
Kegagalan
itu dijadikannya pelajaran berharga, walau tidak berarti putus asa. Buktinya
setelah lukanya sembuh, dia menjalin hubungan lagi dengan seorang cewek. Kali
ini mereka sekota. Karena Faisal pikir, jarak yang jauhlah yang merenggangkan
hubungan mereka.
Mulanya
hubungan berjalan mulus dan manis. Tapi lama-lama pertengkaran demi
pertengkaran mulai mengguncang. Sang cewek tidak sanggup lagi mentolerir jiwa
petualang Faisal. Menurut Yoga, sejak kecil Faisal sangat mencintai alam bebas.
Setelah kuliah, hobbynya makin menggila, karena ada wadah untuk menyalurkan. Bahkan
Faisal diangkat jadi Ketua Mapala kampus.
Kegiatan
petualang Faisal yang tak ada habisnya seperti naik gunung, menyusuri pantai,
menjelazah gua dan expedisi-ekspedisi ke pedalaman membuat berkurangnya
perhatian Faisal pada ceweknya. Akhirnya sang cewek menjalin hubungan diam-diam
dengan cowok lain yang lebih banyak memberi perhatian, sebelum memberi Faisal
ultimatum. Seperti dugaannya, Faisal lebih memilih petualangannya, sehingga
sang cewek merasa bebas untuk berpaling.
Bisa
dimaklumi bila akhirnya Faisal bersikap dingin dan agak sinis. Dua luka yang
membiru cukup membuat hatinya beku. Faisal makin tenggelam dalam
petualangannya.
Aku
menggigit bibir.
Seharusnya
Faisal mengerti, aku sendiripun tidak pernah mengingin semua ini. Aku tak
pernah berharap jatuh cinta pada tempat yang salah. Tidak pernah. Bahkan aku
sama sekali tidak menduga akan bisa jatuh cinta.
Aku
memang sering suka pada cowok. Tapi aku belum pernah merasa jatuh cinta. Cuma
sekedar kagum dan suka. Aku tak pernah merasa begitu menyayangi. Juga merangkai
mimpi dia akan menjadi seorang cowok istimewa, yang akan mendampingi dalam
segala suka maupun duka.
Tapi
kepada Faisal perasaanku jadi lain. Entah kenapa dan bagaimana aku merasa
dialah cowok yang kudambakan selama ini. Entah pesonanya yang mana yang
membuatku demikian terlena. Apakah sikapnya yang dewasa, tegar, dan penuh
tanggungjawab? Ataukah kharismanya yang selalu terpancar lewat sepasang mata
elangnya yang tajam? Atau senyumnya yang agak mahal namun terasa begitu
memabukkan?
Yang
jelas baru kali inilah aku merasakan perasan sayang yang sangat dalam. Perasaan
yang begitu bening dan tulus. Prasaan sakit yang justru terasa nikmat.
Aku tak pernah mengharap banyak dari Faisal. Sungguh! Cukup
membuat senyumnya yang mahal itu merekah, aku sudah bahagia. Mampu menciptakan
tawanya, sudah membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah berharap lebih.
Asal dia bahagia, itulah juga kebahagiaanku.
Apakah ini yang namanya cinta sejati? Cinta yang benar-benar
keluar tulus dari lubuk hati? Dan siapa pula yang bisa membunuhnya bila rasa
cinta itu mulai bersemi?
Kudengar Mbak Niek menghela napas. Dia kemudian mundur. Mungkin
bosan menunggu jawabanku. Kembali tekun dengan bacaannya.
Kalau kujawab pun belum tentu Mbak Niek bisa memahami. Akankah
dia percaya bila kukatakan aku bahagia mempunyai cinta walau harus sia-sia?
Akankah dia mengerti bila kukatakan kesepian dan kesendirian selama penantian
selalu kunikmati? Tidakkah dia akan tertawa bila kukatakan inilah cinta sejati.
Aku sangsi.
Gerimis mereda. Angin dinginnya masih menusuk. Tapi mendung yang
menyelimuti bulan separo mulai tersibak. Malam jadi lebih cerah.
Ke manakah Faisal menikmati malam ini? Di punggung gunung, atau
pesisir pantai, di rimbunan hutan, atau… ah! Di mana pun dia berada akan selalu
kukirim doa untuk keselamatan dan kebahagiaannya.
“Ke mana?” tanya Mbak Niek ketika aku beranjak dari jendela.
“Shalat
Isya.”
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.