Denting piano saat jemari menari
Nada merambat pelan di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan bersama sebuah bayang
Yang pernah terlupakan
JARUM-JARUM
air menghujam bumi. Mulanya jarang-jarang,
lama-lama semakin berkembang. Dari ratusan menjadi ribuan, puluhan ribu, bahkan
jutaan, dan akhirnya tak terhingga. Angin dingin pun mulai berhembus. Menusuk
pori. Menembus tulang.
Kurapatkan restleiting jaketku dan menjauh dari jendela.
Namun pandanganku tak beranjak, tetap menekuri senja yang perlahan turun
bersama guyuran hujan. Sementara gendang telingaku sayup-sayup menangkap alunan
piano mengiringi nyanyian air.
Sempurna, desahku lirih. Hujan dan suara piano membuat hati yang penuh luka kian
nelangsa. Hawa dingin yang menusuk membuat luka semakin perih. Suara piano yang
mendayu membuatku semakin sendu.
Tak tahan, kututup jendela rapat-rapat dan beranjak menuju
dipan. Namun dari balik dinding kamar, suara Iwan Fals bersenandung melantunkan
penyesalan. Pasti Ryan, tetangga kosku yang memutarnya. Tapi aku turut larut di
dalamnya.
Tiba-tiba selintas nama terbersit. Sekelebat bayangan
muncul begitu saja. Perlahan benakku menyusun sesosok dari serpihan kenangan.
Semula samar. Lama-lama semakin jelas. Membuatku sempat tertegun bingung.
Mengapa sosok itu? Bukankah ratusan hari lalu telah terhapus dari benakku?
Kenapa bisa mendadak menyeruak ingatanku?
Sosok itu terlukis nyata. Rambut lurus melewati bahu, agak
kecoklatan. Wajah oval dengan bibir tipis dan lesung pipit yang selalu
mengiringi saat bibir itu melengkungkan senyum. Aku bahkan nyaris lupa betapa
manisnya senyum itu.
Aku mendesah. Mungkinkah perasaanku yang mendayu-dayu
akibat luka yang mengharu-biru menyeret kembali sosok ini dari memori yang
mulai terkubur waktu? Yah, mungkin saja. Karena bukan dia yang menyebabkan
luka. Sebaliknya, ratusan hari yang lalu, luka yang sama pernah kugoreskan di
kelembutan hatinya. Luka yang disebabkan sebuah pengkhianatan dan kebohongan.
Apakah ini yang dinamakan karma? Bumerang yang pernah
kulemparkan kini berbalik melukaiku. Sungguh balasan yang setimpal! Seperih ini
jugakah luka yang dirasakannya dulu? Segetir inikah rasa sakit itu?
Penyesalan tiba-tiba berdentaman di dadaku. Mengapa baru
sekarang? Padahal setelah melukainya, ringan saja kuberpikir waktu akan segera
menyembuhkannya. Tak ada penyesalan apalagi maaf yang terucap seolah tidak
pernah terjadi apa-apa. Bahkan ketika lingkungan mulai memojokkanku, dengan
enteng aku melangkah pergi, melarikan diri.
Ah, seandainya ratusan hari yang lalu aku tak pernah
menggoreskan luka dengan belati kebohongan dan pengkhianatan, mungkinkah
sekarang aku tak merasakan perihnya luka itu? Mungkin begitu. Karena bukankah
berarti sampai sekarang aku akan tetap bersamanya?
Aku meremas rambutku gusar. Berusaha mengusir berbagai
pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Tapi rasanya tetap melekat. Bayangan itu
semakin nyata. Bahkan bagai proyektor yang memutar ulang kenangan ratusan hari
yang lalu. Aku seperti menonton sinetron di mana aku berperan sebagai tokoh
antagonisnya.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.