SEMUA
yang sedang pemanasan di tengah lapangan basket menoleh,
ketika sebuah Honda civic hijau lumut mulus memasuki parkiran di samping
lapangan. Karin yang berada di dalam merasakan pandangan mereka menghujam.
Bagai ribuan jarum merajam seluruh tubuhnya.
Terlebih
ketika Hans membukakan pintu mobil, ala pangeran mempersilakan putri turun dari
kereta kencana. Dia juga membawakan tas jinjingnya yang cuma berisi handuk
kecil dan Aqua.
“Hans,
aku ke mereka dulu, ya!” bisik Karin setengah jengah.
“Ya.
Aku ke sana.” Hans menunjuk pojok lapangan.
Karin
mengangguk. Dia terus, sementara Hans berbelok.
Teman-temannya
pura-pura sibuk lagi, ketika tahu Karin menuju ke arah mereka. Enny asyik mendrible
bola. Ratna menghalang-halangi, berusaha merebut bola. Susi
menggoyang-goyangkan tubuh sambil menghitung perlahan. Mimi mengikuti
gerakannya. Mereka tidak mempedulikan kedatangannya.
Karin
mendesah. Ada yang mengganjal di dadanya. Sakit! Membuat sesak napasnya. Dia
bukannya tidak tahu apa yang membuat teman-temannya bersikap demikian.
Kedatangannya bersama Hans.
“Hai,
Karin!” Amara muncul dari balik ring basket. “Kok, cepat banget datangnya?
Ketemu Dicky di jalan, ya?”
“Dicky?”
Kening Karin berkerut.
“Iya.
Wah, kasihan, lho! Tampaknya dia lagi suntuk berat. Kamu apain sih, Rin?”
Karin
menggeleng galau. Dia masih belum mengerti.
“Tadi
ketika baru datang, kulihat Dicky sendirian di lapangan ini. Ngubek-ngubek bola
basket. Dia nggak pulang ke rumah sejak bubaran sekolah, ya? Seragamnya sampai
basah kuyup mandi keringat. Tasnya juga dibiarkan saja tergeletak di tengah
lapangan.”
Amara
bercerita tanpa menghiraukan wajah Karin yang berubah nada.
“Ketika
aku datang, dia kaget. Tanya jam berapa. Kujawab, jam tiga lebih. Dia langsung
cabut. Katanya, mau jemput kamu.”
“Aku?”
Karin menunjukkan dadanya sendiri. “Dicky menjemputku?”
“Lha,
iya!” Ganti Amara yang heran. “Emang nggak ketemu? Kamu ke sini sama siapa?”
“Itu,
tuh!”
Bukan
Karin yang menjawab, tapi Ratna. Matanya melirik ke sudut lapangan di mana Hans
sedang duduk menunggu. Amara ikut melirik.
“Oh!”
Hanya
itu yang keluar dari bibir Amara. Tatapannya berubah, senada dengan suaranya.
Lalu dia pun tidak mengacuhkan Karin lagi. Bergabung dengan temannya yang lain.
Sekali
lagi Karin mendesah. Dadanya tambah sesak.
“Aku
ganti dulu, ya!” pamit Karin kemudian.
“Ya!”
Alangkah
dipaksakannya jawaban itu. Karin bergegas pergi dari hadapan mereka,
menghampiri Hans yang duduk di pojokan. Tapi ia masih merasakan tatapan dingin
teman-temannya terus mengikuti langkahnya.
Karin
tidak bisa menyalahkan mereka. Karin tahu, mereka cuma memprotesnya. Mereka
lakukan itu karena membela Dicky. Mereka mengira Karin telah berpaling dari
Dicky.
Dicky?
Jadi cowok itu masih mau menjemputnya? Tiba-tiba saja Karin menyesal, mengapa
memenuhi ajakan Hans yang lebih dulu menjemputnya. Kalau saja tidak, tentu saat
ini dia berangkat dengan Dicky. Lalu perlahan-lahan, berusaha menjernihkan
persoalan.
Karin
yakin pasti bisa. Dicky cowok yang baik. Dia lembut dan penuh pengertian. Tadi
siang dia hanya emosi. Dan biasanya cuma sebentar. Emosi itu akan dia tumpahkan
di lapangan basket. Setelah itu akan reda dengan sendirinya. Buktinya, Dicky
sudah mau kembali menjemputnya.
Tapi
aku bodoh, maki Karin dalam hati. Malah pergi dengan Hans. Bagaimana nggak
tambah berantakan?
Semua
ini gara-gara Hans! Karin melirik cowok itu geram. Tapi Hans yang merasa
dilirik malah memamerkan senyum. Mau nggak mau, Karin balas tersenyum. Walau terpaksa.
Karin
membuka celana jeans-nya di kamar kecil. Kemudian keluar lagi dengan mengenakan
celana pendek sport.
“Latihan
yang bagus!” kata Hans sebelum Karin kembali melangkah ke tengah lapangan.
Lagi
Karin tersenyum. Walau dalam hati gondok setengah mati. Dia kaget, ketika
bergabung dengan teman-temannya. Di sana ada Dicky yang sudah mengenakan
pakaian olahraganya.
Dicky
menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Karin menggigit bibir.
“Tadi
aku jemput kamu,” Dicky berbisik teramat pelan.
Karin
ingin menangis mendengarnya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Mas Yo, pelatih
mereka tiba. Mereka mulai pemanasan dan latihan.
Seringkali
Karin ditegur. Dia sering melakukan kesalahan. Semangat latihannya amblas entah
ke mana. Konsentrasinya buyar tak tentu rimba.
Karin
tahu. Dicky memperhatikan keganjilannya. Tapi cowok itu diam saja. Tidak
seperti biasanya, dia lebih sering melatih Susi atau Mimi, atau yang lainnya.
Asisten Mas Yo itu selalu menghindarinya,
Karin
mendesah.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.