“MENYIAPKAN tim basket putri kelas II-2?”
“ Ibu mimpi?” cetus Mel.
“Benar, ibu mimpi menciptakan ‘the dream team’ basket putri kelas kita untuk ikut bertanding
dalam class meeting mendatang. Kamu
yang ibu tugaskan membentuknya.” Bu Fitri tersenyum tenang.
Mel tercengang,
setengah tak percaya dengan pendengarannya. Untuk situasi dan kondisi berbeda,
tugas itu mudah. Tapi dalam situasi dan kondisinya, sangat sukar, bahkan nyaris
mustahil.
Bu Fitri keterlaluan! Mentang-mentang
walikelas, seenaknya memberikan tugas! Tapi
dia wajib menjalankan. Demi tanggungjawab, dan harga diri. Pasalnya, ini bukan
tugas biasa, melainkan tugas sekaligus
hukuman. Hukuman akibat kesalahannya
kalah taruhan.
Mel menghela nafas. Tiba-tiba dia merasa
sangat menyesal. Dia menyesali kesombongan yang menyebabkannya melakukan
kesalahan fatal. Akibatnya, dia harus menerima hukuman.
Kepindahan Bu Anita, wali kelas kesayangan,
hanya itu asal mulanya. Kepindahan yang disesali Mel. Pasalnya, Bu Anita sangat
pengertian pada murid-muridnya. Bu Anita tergolong guru yang moderat dan lebih
banyak memberikan kebebasan pada murid-muridnya untuk mengekspresikan diri.
Bu Anita sendiri tergolong guru yang trendi
dan funky dalam berpenampilan. Mel
suka sekali melihat gaya dan penampilan Bu Anita, persis selebriti yang
kebetulan memerankan guru di sinetron remaja. Sikapnya tidak kaku atau sok jaim.
Pengganti Bu Anita datang sebagai pengajar Bahasa Inggris,
sekaligus wali kelas II-3. Dialah Bu
Fitri Fauziah. Mendengar namanya saja, Mel sudah meragukan, karena terkesan
kampungan banget. Saat berkenalan, kekecewaannya bertambah. Dia sama sekali
tidak mirip Bu Anita, bahkan seujung kukupun. Kesamaannya hanya sama-sama guru
Bahasa Inggris, dengan latar belakang
pendidikan berbeda. Bu Anita lulusan Fakultas Sastra Inggris, Bu Fitri lulusan
IAIN Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Dalam penampilan, Bu Anita modis, trendi
dan funky, Bu Fitri sebaliknya. Namanya juga lulusan IAIN, penampilannya
konservatif, berpakaian serba tertutup plus kerudung, meski bervariasi.
Sikapnya membosankan, terlalu berhati-hati, cenderung terlalu jaim--- alias
jaga image. Persis guru-guru di jaman bahuela,
tidak modern.
Namun yang paling tidak Mel suka cara
mengajarnya. Sebelum memulai pelajaran, dia selalu bercerita dalam Bahasa
Inggris. Murid-murid diminta memahami. Kemudian dia menerjemahkan juga
ceritanya dalam Bahasa Indonesia, untuk mencocokkan dengan hasil pemahaman
murid-muridnya.
Kisah pertamanya membuat Mel tersinggung.
Saat itu tema ceritanya tentang kesombongan dan akibat negatifnya. Entah
mengapa, Mel merasa Bu Fitri sengaja menyindirnya. Mel curiga. Jangan-jangan Bu
Fitri mengetahui dia pernah meragukan dan merendahkannya serta membandingkannya
dengan Bu Anita. Akibatnya, Bu Fitri berusaha membalas dengan menyindirnya.
Mel merasa, tidak ada yang salah pada
dirinya. Dia tidak pernah sombong. Kalaupun dia mengucapkan kalimat
membanggakan diri, itu karena dia pantas mengatakannya. Memang begitu
kenyataannya, bukan sombong. Misalnya, dia membanggakan kehebatannya bermain
basket, karena dia memang piawai mengolah bola orange tersebut di lapangan
sampai menjaringkannya ke dalam ring. Tak ada yang bisa membantahnya, termasuk
Pak Trisno, guru olahraga.
Sejak itu, Mel merasa Bu Fitri makin sering
menyindirnya lewat cerita maupun nasihat-nasihatnya. Hal ini membuat Mel
semakin membencinya, meski kebencian itu tidak pernah diperlihatkannya.
Suatu ketika
kebencian itu terlontar juga. Waktu
itu pelajaran olahraga, Pak Trisno
absen. Sebagai wali kelas bertanggungjawab, Bu Fitri menggantikan dengan
menyuruh mereka pemanasan dan berlatih basket. Dia mengawasi di tepi lapangan.
Seperti biasa, saat berada di lapangan
basket, Mel terlihat dominan, bahkan di tengah pemain putra. Hal ini yang
secara sadar atau tidak memicu kepercayaan diri yang berlebihan. Bagi yang
mendengar, cenderung terdengar sombong dan meremehkan orang lain. Tidak
mengherankan, bila teman-temannya merasa tersinggung, sehingga hampir terjadi
perselisihan di antara mereka.
Bu Fitri kemudian maju melerai.
“Mel, padi semakin berisi semakin merunduk,
bukan sebaliknya,” ujar Bu Fitri.
Hanya satu kalimat, namun karena merasa dia
dipojokkan, Mel naik pitam. Mungkin, karena dasarnya dia memang tidak menyukai
Bu Fitri.
“Bu, saya bicara apa adanya, bukan sekedar
tong kosong yang nyaring bunyinya,” tandasnya keras. “Bila ibu tak percaya,
bisa membuktikan sendiri.”
“Apa maksudmu dengan membuktikan sendiri?”
Mel mengangkat bahu, cuek. “Mungkin dengan
bertanding melawan saya.”
Bu Fitri mengerutkan kening. Dia menatap
Mel yang tampak tidak peduli. Kemudian menghela nafas panjang. “Baiklah!”
Ganti Mel
terkejut mendengar jawaban tersebut. “Ba… baik apanya, Bu?”
“Kita bertanding. Bukankah kamu yang menyarankannya?”
Mel mati kutu.
“Sekarang kita mulai.”
“Dengan pakaian seperti itu?” Mel menatap
pakaian semi formal Bu Fitri.
“Kenapa? Ibu merasa tidak terganggu. Kita
hanya bertanding menjaringkan bola ke ring. Lima kali dari garis three point dan lima kali lay up.”
Bu Fitri ke pinggir, membuka blazer sehingga hanya mengenakan kaos lengan
panjang, plus kulot. Kemudian mengaitkan ujung jilbab ke belakang. Terakhir,
membuka sepatu berhak sedang yang dipakainya sehingga tinggal mengenakan kaos
kaki sebelum kembali ke tengah lapangan.
“Siapa yang mulai?
Sebaiknya diundi saja. Aturannya, bila Ibu kalah, kamu berhak mengajukan
permintaan apapun pada Ibu sebagai hukuman, demikian juga sebaliknya.”
Koin dilempar. Bu
Fitri memulai lebih dulu. Tiga bola diletakkan mengelilingi garis three point. Bu Fitri memegang bola
pertama, berkonsentrasi dan mengucap ‘Bismillah’,
bola pun dilempar. Masuk! Lemparan yang sempurna. Bola kedua menyusul, demikian
juga bola ketiga, kemudian keempat dan kelima yang telah diletakkan ke batas
garis sudut berlawanan. Tepuk tangan membahana.
Nilai penuh untuk Bu Fitri. Mel kaget.
Tidak menyangka Bu Fitri punya kemampuan sehebat itu. Dia gugup sekaligus
tegang. Kepercayaan diri dan kesombongannya luruh seketika. Bisa ditebak, hanya
dua bola three points-nya yang
bersarang sempurna di ring, tiga lainnya meleset.
Lima kali lay up, kembali Bu Fitri merebut nilai penuh. Mel yang
terpuruk, hanya berhasil menjaringkan
tiga bola, dua kali gagal. Bu Fitri menang telak. Mel bagai mendapat tamparan
keras di muka. Terlebih saat mendapati wajah sinis bernada mengejek yang
diperlihatkan teman-temannya.
“Maaf, Mel, Ibu menang! Berarti, kamu harus
menyelesaikan tugas yang ibu minta sebagai hukuman!” ujar Bu Fitri dengan
tenang.
Inilah hukuman itu. Seandainya boleh
memilih, Mel lebih suka membayar sejumlah uang daripada hukuman yang baginya
mustahil itu. Bagaimana mungkin membentuk tim basket kelas, sementara dia tahu
pasti kemampuan bermain basket teman-teman sekelasnya? Mereka benar-benar tidak
bisa diharapkan. Payah!
“Bagaimana, Mel? Mengapa diam?” Bu Fitri
menyentak lamunannya. “Diammu bukan berarti keraguanmu untuk bisa mewujudkan
mimpi ini, kan? Soalnya, Ibu yakin, kamu bisa membuat mimpi ibu menjadi nyata.”
Mel menggigit bibir, menahan perasaan.
Meski nadanya terdengar datar, namun kalimat itu terasa bagai ejekan.
“Ajaklah Dina, Sarah,
Adelia, dan Jie sebagai tim inti. Sementara sebagai cadangan latih juga Yuniar,
Indri, dan Radiah!”
Mereka? Mel membelalak.
Dina? Bagaimana mungkin si kutu buku gempal
itu bisa main basket? Kacamatanya saja setebal pantat botol, bagaimana bisa
melihat ring? Lalu Sarah? Tidak bisa dibayangkan bila cewek kemayu seperti dia
mendrible bola. Dia memang jangkung
dan cantik, karena keturunan Indo-Eropa. Tapi genitnya minta ampun. Jarang mau
ke lapangan basket, dengan alasan jaga penampilan
Adelia? Sama parahnya. Dia anak tunggal
pengusaha kaya. Boleh dibilang, paling kaya di kelas. Tapi, manjanya tidak
ketulungan. Tidak mau capek sedikit. Jie? Lumayan. Dia tomboy, dan suka
olahraga. Tapi favoritnya olahraga bela diri, dan dia selalu merasa diri
jagoan. Bila disuruh main basket, bisa-bisa dia menendang lawan.
Kemudian Yuniar, Indri dan Radiah, semua
sama tidak menjanjikan. Mereka semua tidak akan membuat tim yang dibentuk
merupakan tim impian. Lebih memungkinkan bila mereka menjadi tim mimpi buruk
alias the nightmare team.
“Bu, saya…”
“Pulang sekolah nanti, tolong bilang mereka
untuk bertahan sebentar. Ibu mau bicara dengan mereka,” ucap Bu Fitri, tegas
dan mantap.
***
Bersambung ke bagian berikutnya, ya ... ^_^