Friday, September 28, 2018

Cewek Cuek (Bagian 1)


CEWEK itu lewat saat aku dan Mbak Lin sedang ngobrol di teras kosku. Seperti biasa, dengan gayanya yang khas, cuek dan cenderung sombong, dia berjalan di depan kami. Jangankan tersenyum, menolehpun tidak, apalagi menyapa. Memamng selalu begitu. Padahal bagaimanapun, kami adalah tetangga.
            “Siapa, Ren?” tanya Mbak Lin.
            “Anak kos sebelah. Cewek paling cuel dan sombong yang pernah kukenal.”
            Mbak Lin menoleh. Tampak sangat tertarik dengan komentarku. “Begitukah menurutmu?”
            “Bukan menurutku saja, Mbak. Tapi semua anak di sini. Tidak seorangpun dari kami yang pernah bertegur sapa dengannya. Padahal dengan cewek-cewek lain yang sekos dengannya, boleh dibilang hubungan kami cukup akrab. Hanya dengan dia saja yang tidak. Kalau kami sedang kumpul bareng, dia lebih memilih mengurung diri di kamarnya.”
            “Itukah alasanmu sehingga menyebutnya cuek dan sombong?”
            “Bukan itu saja. Mbak Lin liat sendiri gaya berpakaiannya, kan? Metal banget. Pake kets, jelana jeans, kemeja gedobrang, ransel, dan topi yang tidak pernah kepas dari kepalanya. Jarang kan Mbak, cewek punya gaya dandanan seperti itu? Tapi sangat pas dengan gayanya yang cuek dan acuh. Kalo jalan tidak pernah tengok kiri-kanan. Pandangannya lurus saja ke depan. Terus langkahnya juga lebar-lebar. Seperti orang yang mau ambil gaji saja.”
            “Alasan yang masuk akal.” Mbak Lin manggut-manggut sambil tersenyum tipis. “Tapi aku justru punya pendapat lain tentang cewek itu. Bertolakbelakang dengan pendapatmu. Menurutku, dia itu cewek yang sangat pemalu.”
            “Apa, Mbak? Pemalu?” ulangku dengan mata membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin cewek yang cueknya setengah mati itu dibilang sangat pemalu? Tapi aku juga tak mungkin meremehkan pendapat Mbak Lin yang mahasiswa psikologi. Pasti dia punya alasan yang lebih akurat dan ilmiah.
            Mbak Lin tersenyum. “Sikap cuek dan sombongnya itu justru untuk menutupi sifat pemalunya yang kelewat parah. Jangankan untuk menyapa orang lain, memandang saja dia tak bisa. Makanya dia memakai topi untuk menyembunyikan sebagian wajahnya. Bersikap seolah tidak melihat siapapun di sekitarnya. Dia terlalu pemalu untuk mengahadapi orang lain, maka dia memilih bersikap masa bodoh kepada siapapun.”
            Aku tercenung mendengar uraian Mbak Lin. Sekilas kedengaran aneh. Tapi kalau dipikirkan lagi, hal itu tidaklah mustahil dan bisa diterima nalar. Hanya saja, mungkinkah masih ada cewek sepemalu itu di jaman penuh keterbukaan seperti sekarang ini? Di mana  cewek-cewek yang bersikap lebih agresif dari para cowok dianggap syah-syah saja?
            “Itu hanya berlaku pada orang yang tidak atau belum dikenalnya benar. Tapi terhadap orang yang sudah dikenalnya cukup lama, sikapnya pasti akan lain. Buktikan sendiri bila kamu tidak percaya!” ujar Mbak Lin menutup penjelasannya.
                                                                                    *** Bersambung ke bagian berikutnya, ya,,,!


Monday, September 24, 2018

Jukung Cinta di Ombak Sungai (Bagian 1)


 “OOOIII…. Isnaaa…!”
Suara itu begitu nyaring dan melengking. Semua orang yang berada di sekitar pelabuhan menoleh ke arah suara itu. Demikian juga Isna. Dia hapal benar siapa yang memiliki suara seunik itu.
Seorang gadis sedang terayun-ayun di atas jukung atau perahu kecilnya. Tangannya melambai ke arah Isna penuh semangat.
“Paaattt…!” Tanpa sadar Isna balas berteriak.
Isna nyengir ketika menyadari pandangan orang beralih kepadanya. Untuk mengurangi malu, dia pura-pura cuek.
Ipat dengan gesit mengayuh jukungnya, meliuk-liuk dengan lincah. Menyusup di antara jukung dan kelotok atau perahu motor lain yang rata-rata lebih besar. Sebentar saja jukung Ipat sudah berhasil merapat ke dermaga di mana Isna berdiri menunggu.
Sebelum Isna melompat ke jukung, Ipat sudah lebih dulu melompat ke dermaga.
“Apa kabar, Is?” sapanya dengan Bahasa Indonesia yang formal dan baku seraya menjabat tangan Isna.
Isna terlongo sesaat. Tapi dia segera sadar kekonyolan sahabatnya itu sengaja untuk menggodanya.
Ikam ni!” gerutunya dalam Bahasa Banjar yang berarti : kamu ini! Sambil menjitak kepala Ipat, gemas. “Baik-baik saja. Apa kabar kamu dan teman-teman di sini?”
Ipat cengengesan. “Kukira kamu sudah lupa Bahasa banjar. Tadinya aku malah mau menyapamu pakai Bahasa Jawa.”
“Memang kamu bisa Bahasa Jawa?”
“Bisa,” jawab Ipat bangga. “Lakone nopo Pak Mantep?”
Isna tergelak.
“Ayo kita pulang!”
“Tunggu dulu!” cegah Ipat sebelum Isna sempat bergerak. Dia memegang lengan Isna. Matanya menatap Isna dari ujung kaki sampai kepala, lalu dari ujung kepala sampai ke kaki. Begitu berulang-ulang. Setelah puas memandang, dia menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Kenapa?” tanya Isna heran.
“Aku kecewa. Setelah setahun di Yogya, kamu sama sekali tidak berubah, kecuali tambah tua.”
“Sialan!” umpat Isna keki. “Memangnya aku KBH RX, bisa berubah-ubah RX Robo, RX Turbo!”
“Wah, ternyata di Yogya ada Ksatria Baja Hitam juga, ya?”
Sebelum Isna kembali menjitaknya, Ipat merebut tas pakaian dan kardus di tangan isna, kemudian melompat ke dalam jukung. Diletakkannya barang-barang itu di tengah-tengah jukung, lalu dia mengambil dayung seolah siap untuk mengayuh jukungnya.
“Eh, memang aku mau ditinggal?” protes Isna.
Ipat nyengir. “Lupa! Yang penting kan oleh-olehnya. Kalau orangnya sih, terserah, mau ikut atau tidak.”
Isna memaki. Cepat dia melompat ke dalam jukung. Dia merebut dayung di tangan Ipat.
“Sini, biar aku yang mengayuh!”
“Apa kamu masih bisa?”
Isna cemberut. Kesal sekali dia digoda terus oleh sahabatnya itu.
“Aku takkan kehilangan kebisaan kalau hanya karena tinggal di Yogya selama setahun. Bila kita berlomba, aku yakin bisa mengalahkanmu.”
Ipat tersenyum. Senang bisa menggoda temannya itu habis-habisan. Dia membiarkan Isna mengayuh jukung, menjauhi dermaga. Perhatiannya beralih pada keadaan Pelabuhan Trisakti yang penuh manusia setelah kedatangan KM Lawit. Kapal ini yang membawa Isna dan ratusan penumpang lainnya. Sebentar lagi kapal itu berangkat lagi menuju Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Makanya calon penumpang yang mau naik bercampur baur dengan penumpang yang turun. Semrawut minta ampun. Ditambah lagi para pengantar dan penjemput yang ikut berdesakan. Semoga saja dermaga pelabuhan tidak ambruk karenanya, doa Ipat dalam hati.
Jukung mereka semakin jauh dari pelabuhan. Perhatiannya kembali pada Isna, sahabatnya yang baru datang dari yogya. Dilihatnya Isna mengayuh jukung penuh semangat. Sambil menikmati pemandangan sepanjang sungai.
“Kamu tahu, Pat,” kata temannya itu. “Aku rindu sekali suasana seperti ini. Suara gemercik air yang mengalun. Ayunan gelombang yang membuai. Angin yang membawa uap air sungai. Dan perkampungan terapung yang damai. Aku rindu segala yang ada di sini, yang tak pernah kutemukan di Pulau Jawa.”
“Kalau kamu rindu, aku malah bosan,” balas Ipat.
Sebenarnya Ipat iri pada Isna. Temannya itu berkesempatan merantau ke Pulau Jawa, menuntut ilmu di Yogya. Tentu telah banyak yang dia ketahui dan alami. Tidak seperti dia yang seumur hidupnya dihabiskan di sini. Yang dilihatnya melulu sungai dan sungai. Sungguh membosankan!
“Kalau rindu, kenapa kayaknya kamu enggan untuk pulang?”
Isna terdiam. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Ipat karena dia punya alasan pribadi. Semula dia memang berencana tidak pulang liburan panjang kali ini. Tapi beruntung, semua teman kosnys pulang. Tempat kos jadi teramat sepi. Terpaksa rencana itu dia ubah. Bahkan perubahan rencana ini tidak sempat dia kabarkan pada orang rumah. Cuma Ipat yang dia minta menjemputnya di pelabuhan. Bisa dia bayangkan, betapa terkejutnya mereka bila tiba-tiba dia muncul.
“Is, kita hampir sampai, lho!”
“Aku tahu.”
“Yah, barangkali saja kamu sudah lupa dengan rumah sendiri.”
Isna tidak menanggapi godaan Ipat. Dia sibuk menata perasaannya yang tiba-tiba saja meluap-luap, bahagia, rindu, dan haru berbaur jadi satu.
*** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ***

Friday, September 21, 2018

I Miss You (Bagian 1)


ANAK baru itu kece. Siapapun mengakuinya. Jangankan cewek-cewek, para cowok pun terpesona. Jangankan murid, guru pun terkesima. Kelas ini bagai kedatangan Andre Agassi kesasar.
Fariz, nama anak baru itu. Selintas kilas emang mirip Andre Agassi. Terutama alisnya yang tebal dan bola matanya yang coklat kelam. Bedanya Andre jagoan tennis, sedang Fariz lebih demen ngejar-ngejar bola basket. Andre bule, sedangkan Fariz Indonesia asli, paduan Menado dan Melayu. Yang jelas Fariz nggak gondrong. Soalnya bisa ketangkap razia.
Sekejap saja Fariz sudah jadi perhatian. Dia masuk bersamaan dimulainya tahun ajaran baru. Diantar Pak Basuki ke kelas II sosial dua.
Anak-anak yang sedang asyik ngegosipin liburannya langsung terpana. Mereka pikir, ngapain Andre Agassi ke sini, bukannya ikut turnamen Grand Slam? Lagian perasaan di sekolah ini belum ada lapangan tenisnya. Jadi nggak mungkin diadakan turnamen tennis ‘SMA Sweet Seventeen Terbuka’. Adanya lapangan basket yang bisa disulap jadi lapangan voli sekaligus tempat upacara bendera. Ada juga lapangan bola, tapi udah keluar lingkungan sekolah. Seberang sana ada stadion.
Setelah Pak Basuki menjelaskan, baru mereka mengerti. Fariz diserbu. Mereke berebut menyalami. Terutama cewek-cewek. Sampai tarik-tarikan segala. Fariz kewalahan melayani mereka.
Pak Basuki hanya geleng-geleng kepala. Sebelum pergi beliau sempat menginstruksikan anak-anak untuk menyusun bangku karena acara belajar-mengajar akan segera dimulai.
Lagi-lagi anak-anak berebut, menawari Fariz duduk berdua. Cewek-cewek bergenit-ria, setengah merayu setengah memaksa agar Fariz mau duduk dengannya. Fariz cuma tersenyum menanggapinya.
Bel istirahat berbunyi. Fariz belum memutuskan duduk dengan siapa. Dia malah ikut rombongan anak cowok ke kantin. Diam-diam beberapa cewek mengikuti dari belakang. Mereka jajan sambil bercanda. Fariz selalu jadi perhatian.
“Anak terpandai di kelas kita siapa?” bisik Fariz pada Danang yang duduk di sebelahnya ketika anak-anak lain asyik tertawa-tawa.
“Dara,” jawab Danang heran.
“Anaknya yang mana?”
Danang menoleh ke sana ke mari. “Nggak ada di sini. Itu tuh, yang duduknya di meja depan, dekat guru. Yang rambutnya lurus panjang suka dikuncir satu, pake kacamata.”
Fariz mengangguk mengerti.
“Kenapa?” Danang penasaran.
Fariz tersenyum misterius.
Setelah kembali ke kelas, baru Danang mengerti. Fariz menenteng tasnya, menghampiri Dara yang duduk sendiri, asyik membaca.
“Kamu sendiri?” tanya Fariz.
Dara kaget. Lebih kaget lagi ketika melihat makhluk yang berdiri di samping kursinya. Agaknya makhluk inilah yang tadi bertanya.
“I… ya!” suara Dara gugup karena dari tadi Fariz tak juga melunturkan senyumnya. Senyum itu.. ala, mak!
“Boleh aku duduk di sini?”
Kalau saja punya korek kuping, pasti Dara mengorek kupingnya, saking tidak percaya. Apa katanya tadi? Dia mau duduk di sini? Apa tidak salah? Sementara selusin cewek cantik dan centil menawarkan bangkunya, Fariz malah minta diizinkan duduk di sampingnya.
Dara bingung. Dia merasa berpasang-pasang mata menatap tajam. Ada bermacam nada terkandung di dalamnya. Iri, sirik, dengki, itu paling dominan. Dari barisan cewek yang menawari Fariz kursi tentunya. Dara jadi nggak enak hati.
Tapi senyum yang terus menghias bibir Fariz itu membuatnya tak sanggup untuk menggeleng. Dia nggak mau Fariz kecewa, apalagi marah.
Akhirnya Dara mengangguk. Abis, masak mau ngelarang orang duduk sedang orang itupun bayar SPP seperti dirinya? Itu kan haknya.
Senyum Fariz tambah lebar. “Terimakasih.”
Dara menggeser duduknya dekat jendela. Dia mengeluh dalam hati. Senyum Fariz harus dibayar dengan cibiran bahkan gerutuan dari cewek-cewek yang memandang mereka.
***
Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ^_^

Thursday, September 20, 2018

The Dream Team (Bagian 1)


“MENYIAPKAN tim basket putri kelas II-2?”
“ Ibu mimpi?” cetus Mel.
 “Benar, ibu mimpi menciptakan ‘the dream team’  basket putri kelas kita untuk ikut bertanding dalam class meeting mendatang. Kamu yang ibu tugaskan membentuknya.” Bu Fitri tersenyum  tenang.
Mel tercengang, setengah tak percaya dengan pendengarannya. Untuk situasi dan kondisi berbeda, tugas itu mudah. Tapi dalam situasi dan kondisinya, sangat sukar, bahkan nyaris mustahil.
Bu Fitri keterlaluan! Mentang-mentang walikelas,  seenaknya memberikan tugas! Tapi dia wajib menjalankan. Demi tanggungjawab, dan harga diri. Pasalnya, ini bukan tugas biasa, melainkan tugas  sekaligus hukuman. Hukuman  akibat kesalahannya kalah taruhan.
Mel menghela nafas. Tiba-tiba dia merasa sangat menyesal. Dia menyesali kesombongan yang menyebabkannya melakukan kesalahan fatal. Akibatnya, dia harus menerima hukuman.
Kepindahan Bu Anita, wali kelas kesayangan, hanya itu asal mulanya. Kepindahan yang disesali Mel. Pasalnya, Bu Anita sangat pengertian pada murid-muridnya. Bu Anita tergolong guru yang moderat dan lebih banyak memberikan kebebasan pada murid-muridnya untuk mengekspresikan diri.
Bu Anita sendiri tergolong guru yang trendi dan funky dalam berpenampilan. Mel suka sekali melihat gaya dan penampilan Bu Anita, persis selebriti yang kebetulan memerankan guru di sinetron remaja. Sikapnya  tidak kaku atau sok jaim.
Pengganti Bu Anita datang  sebagai pengajar Bahasa Inggris, sekaligus  wali kelas II-3. Dialah Bu Fitri Fauziah. Mendengar namanya saja, Mel sudah meragukan, karena terkesan kampungan banget. Saat berkenalan, kekecewaannya bertambah. Dia sama sekali tidak mirip Bu Anita, bahkan seujung kukupun. Kesamaannya hanya sama-sama guru Bahasa Inggris,  dengan latar belakang pendidikan berbeda. Bu Anita lulusan Fakultas Sastra Inggris, Bu Fitri lulusan IAIN Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Dalam penampilan, Bu Anita modis, trendi dan funky, Bu Fitri sebaliknya. Namanya juga lulusan IAIN, penampilannya konservatif, berpakaian serba tertutup plus kerudung, meski bervariasi. Sikapnya membosankan, terlalu berhati-hati, cenderung terlalu jaim--- alias jaga image. Persis guru-guru di jaman bahuela,  tidak modern.
Namun yang paling tidak Mel suka cara mengajarnya. Sebelum memulai pelajaran, dia selalu bercerita dalam Bahasa Inggris. Murid-murid diminta memahami. Kemudian dia menerjemahkan juga ceritanya dalam Bahasa Indonesia, untuk mencocokkan dengan hasil pemahaman murid-muridnya.
Kisah pertamanya membuat Mel tersinggung. Saat itu tema ceritanya tentang kesombongan dan akibat negatifnya. Entah mengapa, Mel merasa Bu Fitri sengaja menyindirnya. Mel curiga. Jangan-jangan Bu Fitri mengetahui dia pernah meragukan dan merendahkannya serta membandingkannya dengan Bu Anita. Akibatnya, Bu Fitri berusaha membalas dengan menyindirnya.
Mel merasa, tidak ada yang salah pada dirinya. Dia tidak pernah sombong. Kalaupun dia mengucapkan kalimat membanggakan diri, itu karena dia pantas mengatakannya. Memang begitu kenyataannya, bukan sombong. Misalnya, dia membanggakan kehebatannya bermain basket, karena dia memang piawai mengolah bola orange tersebut di lapangan sampai menjaringkannya ke dalam ring. Tak ada yang bisa membantahnya, termasuk Pak Trisno, guru olahraga.
Sejak itu, Mel merasa Bu Fitri makin sering menyindirnya lewat cerita maupun nasihat-nasihatnya. Hal ini membuat Mel semakin membencinya, meski kebencian itu tidak pernah diperlihatkannya.
Suatu ketika kebencian itu  terlontar juga. Waktu itu  pelajaran olahraga, Pak Trisno absen. Sebagai wali kelas bertanggungjawab, Bu Fitri menggantikan dengan menyuruh mereka pemanasan dan berlatih basket. Dia mengawasi di tepi lapangan.
Seperti biasa, saat berada di lapangan basket, Mel terlihat dominan, bahkan di tengah pemain putra. Hal ini yang secara sadar atau tidak memicu kepercayaan diri yang berlebihan. Bagi yang mendengar, cenderung terdengar sombong dan meremehkan orang lain. Tidak mengherankan, bila teman-temannya merasa tersinggung, sehingga hampir terjadi perselisihan di antara mereka.
Bu Fitri kemudian maju melerai.
“Mel, padi semakin berisi semakin merunduk, bukan sebaliknya,” ujar Bu Fitri.
Hanya satu kalimat, namun karena merasa dia dipojokkan, Mel naik pitam. Mungkin, karena dasarnya dia memang tidak menyukai Bu Fitri.
“Bu, saya bicara apa adanya, bukan sekedar tong kosong yang nyaring bunyinya,” tandasnya keras. “Bila ibu tak percaya, bisa membuktikan sendiri.”
“Apa maksudmu dengan membuktikan sendiri?”
Mel mengangkat bahu, cuek. “Mungkin dengan bertanding melawan saya.”
Bu Fitri mengerutkan kening. Dia menatap Mel yang tampak tidak peduli. Kemudian menghela nafas panjang. “Baiklah!”
Ganti Mel  terkejut mendengar jawaban tersebut. “Ba… baik apanya, Bu?”
“Kita bertanding. Bukankah kamu yang  menyarankannya?”
Mel mati kutu.
“Sekarang kita mulai.”
“Dengan pakaian seperti itu?” Mel menatap pakaian semi formal Bu Fitri.
“Kenapa? Ibu merasa tidak terganggu. Kita hanya bertanding menjaringkan bola ke ring. Lima kali dari garis three point dan lima kali lay up.”
Bu Fitri ke pinggir, membuka blazer sehingga hanya mengenakan kaos lengan panjang, plus kulot. Kemudian mengaitkan ujung jilbab ke belakang. Terakhir, membuka sepatu berhak sedang yang dipakainya sehingga tinggal mengenakan kaos kaki sebelum kembali ke tengah lapangan.
“Siapa yang mulai? Sebaiknya diundi saja. Aturannya, bila Ibu kalah, kamu berhak mengajukan permintaan apapun pada Ibu sebagai hukuman, demikian juga sebaliknya.”
Koin dilempar. Bu Fitri memulai lebih dulu. Tiga bola diletakkan mengelilingi garis three point. Bu Fitri memegang bola pertama, berkonsentrasi dan mengucap ‘Bismillah’, bola pun dilempar. Masuk! Lemparan yang sempurna. Bola kedua menyusul, demikian juga bola ketiga, kemudian keempat dan kelima yang telah diletakkan ke batas garis sudut berlawanan. Tepuk tangan membahana.
Nilai penuh untuk Bu Fitri. Mel kaget. Tidak menyangka Bu Fitri punya kemampuan sehebat itu. Dia gugup sekaligus tegang. Kepercayaan diri dan kesombongannya luruh seketika. Bisa ditebak, hanya dua bola three points-nya yang bersarang sempurna di ring, tiga lainnya meleset.
Lima kali lay up, kembali Bu Fitri merebut nilai penuh. Mel yang terpuruk,  hanya berhasil menjaringkan tiga bola, dua kali gagal. Bu Fitri menang telak. Mel bagai mendapat tamparan keras di muka. Terlebih saat mendapati wajah sinis bernada mengejek yang diperlihatkan teman-temannya.
“Maaf, Mel, Ibu menang! Berarti, kamu harus menyelesaikan tugas yang ibu minta sebagai hukuman!” ujar Bu Fitri dengan tenang.
Inilah hukuman itu. Seandainya boleh memilih, Mel lebih suka membayar sejumlah uang daripada hukuman yang baginya mustahil itu. Bagaimana mungkin membentuk tim basket kelas, sementara dia tahu pasti kemampuan bermain basket teman-teman sekelasnya? Mereka benar-benar tidak bisa diharapkan. Payah!
“Bagaimana, Mel? Mengapa diam?” Bu Fitri menyentak lamunannya. “Diammu bukan berarti keraguanmu untuk bisa mewujudkan mimpi ini, kan? Soalnya, Ibu yakin, kamu bisa membuat mimpi ibu menjadi nyata.”
Mel menggigit bibir, menahan perasaan. Meski nadanya terdengar datar, namun kalimat itu terasa bagai ejekan.
“Ajaklah Dina, Sarah, Adelia, dan Jie sebagai tim inti. Sementara sebagai cadangan latih juga Yuniar, Indri, dan Radiah!”
Mereka? Mel membelalak.
Dina? Bagaimana mungkin si kutu buku gempal itu bisa main basket? Kacamatanya saja setebal pantat botol, bagaimana bisa melihat ring? Lalu Sarah? Tidak bisa dibayangkan bila cewek kemayu seperti dia mendrible bola. Dia memang jangkung dan cantik, karena keturunan Indo-Eropa. Tapi genitnya minta ampun. Jarang mau ke lapangan basket, dengan alasan jaga penampilan
Adelia? Sama parahnya. Dia anak tunggal pengusaha kaya. Boleh dibilang, paling kaya di kelas. Tapi, manjanya tidak ketulungan. Tidak mau capek sedikit. Jie? Lumayan. Dia tomboy, dan suka olahraga. Tapi favoritnya olahraga bela diri, dan dia selalu merasa diri jagoan. Bila disuruh main basket, bisa-bisa dia menendang lawan.
Kemudian Yuniar, Indri dan Radiah, semua sama tidak menjanjikan. Mereka semua tidak akan membuat tim yang dibentuk merupakan tim impian. Lebih memungkinkan bila mereka menjadi tim mimpi buruk alias the nightmare team.
“Bu, saya…”
“Pulang sekolah nanti, tolong bilang mereka untuk bertahan sebentar. Ibu mau bicara dengan mereka,” ucap Bu Fitri, tegas dan mantap.

***
Bersambung ke bagian berikutnya, ya ... ^_^

Tuesday, September 18, 2018

Menanti Hujan (Bagian 1 )


MENANTI hujan di Bulan Ramadhan, namun tak kunjung datang. Malah kabut asap akibat kebakaran lahan semakin menebal. Memerihkan mata menyesakan pernafasan. Memasung panas mentari dalam jaring-jaringnya. Namun tetap menebar terik yang mencekik tenggorokan.
Menanti hujan di Bulan Ramadhan bagiku juga sebuah cobaan selain berpuasa melawan lapar dan dahaga. Karena Ramadhan yang kukenal sangat menyukai hujan. Meski hujan pula yang merenggutnya ke dalam bingkai kenangan.
“Ada yang bisa saya bantu, Non?” Seraut wajah basah kuyup mengetuk jendela Honda Jazz kesayanganku.
Aku tersentak kaget. Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba. Tapi lebih karena ketampanan wajah basah itu. Air membuatnya terlihat bercahaya. Aku sampai terpesona.
Semula aku sempat ragu. Takut masuk perangkap penjahat. Namun ingat aku sudah berada di lingkungan kompleks, keraguan itu lenyap. Kuturunkan kaca jendela sedikit. Namun cukup untuk memperjelas pandanganku pada wajahnya.
“Mogok. Mungkin karena bagian mesinnya kecipratan air hujan.”
“Wah, sayang saya tidak mengerti mesin.”
“Rumahku tinggal beberapa puluh meter. Mobil bisa titip di sini? Tapi hujan ini…”
“Oh, tenang, Non. Di musholla ada payung.”
Tanpa menunggu lebih lama, sosok basah kuyup itu menjauh. Aku baru sadar, mobilku ngadat tepat di depan musholla kompleks perumahan. Agaknya, cowok itu yang bertugas menjaga musholla. Aku tidak tahu pasti, karena selama ini tidak pernah terlalu memperhatikannya. Tapi tampaknya dia juga masih remaja. Paling, usianya dua tiga tahun di atasku. Penampilannya saja yang membuatnya kelihatan lebih tua dari umurnya. Maklum, hanya mengenakan kaos kumal dan celana kain lusuh. Padahal kalo didandani sedikit saja, pasti kerennya tak kalah dengan selebriti.
Cowok itu datang dengan menenteng payung di tangannya.
“Ada payung, kenapa kamu hujan-hujannya?” tanyaku tanpa bosan menatap sosok tampan basah kuyup itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maklum, hujan masih deras mengguyur.
Cowok itu tersenyum. “Saya menyukai hujan.”
Jawaban yang sempat membuatku terlongo.
“Baiklah, payungnya kupinjam. Titip mobil, ya!” ujarku sambil mengambil payung dari tangannya. “Oya, namamu siapa?”
“Saya Ramadhan, Non. Putra Pak Saidi, satpam kompleks. Kami numpang tinggal di samping musholla. Sekalian saya bantu-bantu jadi marbot musholla.”
Mataku melebar. Sudah berapa lama kami sekeluarga tinggal di kompleks ini? Tapi tak pernah tahu salah satu satpam kompleks bernama Saidi. Yang mana orangnya, ya? Mungkin yang paling tua. Padahal dia punya anak cowok yang sebegitu kerennya.
“Saya Kansha…”
“Saya tahu, Non. Panggilannya Non Chacha. Blok F No 23 C.”
Kembali mataku melebar dengan bibir setengah terbuka.
Ramadhan tersenyum. “Ayah saya kan satpam, Non. Jadi mengenal seluruh penghuni kompleks, walau mereka tidak mengenal kami.”
Aku pulang menggunakan payung yang dipinjamkan Ramadhan. Entah kenapa, percakapan singkat kami memberikan kesan tersendiri.
Sesampai di rumah, aku menelpon bengkel agar mengirim montir. Setelah itu aku langsung menelpon Siska, ce-esku. Kuceritakan, aku baru bertemu cowok yang cakepnya kayak Adam Jordan.

“Marbot musholla?” Siska ngakak habis. “Memangnya kamu baru nonton sinetron Ramadhan?”
Bersambung ke bagian berikutnya, ya...



Belajar dari Awal


Assalamualaikum…
Perkenalkan, saya penulis jadul….  Penulis jaman dulu. Jaman dulu suka menulis.  Jaman dulu maksudnya dulu banget… Sejak mulai suka membaca. Membaca cerita khususnya. Karena kebanyakan membaca, akhirnya ingin membuat cerita sendiri ketika merasa tidak puas dengan cerita yang pernah dibaca.

Jadi, begitulah… Sejak SMP, mulai suka menulis. Apalagi setelah diberi agenda kerja oleh abah yang tidak pernah dipakai beliau. Agenda itu akhirnya dijadikan diary anaknya.
Tapi tidak latihan menulis di diary membawa tulisan masuk majalah remaja pertama kali. Majah Hai waktu itu. Isinya, tentang diary cinta pertama. Honornya Rp20.000,-
Selanjutnya, coba mengirim cerpen yang lebih panjang ke Majalah Anita Cemerlang. Kebanyakan ditolak karena berbagai alasan. Akhirnya berhasil tembus dengan honor Rp40.000,-. Kemudian menyusul cerpen-cerpen berikutnya dimuat sebagai cerpen biasa maupun cerpen utama. Honornya berkisar Rp75.000,- sampai Rp150.000,- Beberapa cerpen juga ada yang dimuat di Majalah Ceria Remaja dan Aneka. Wah, serasa jadi orang kaya, karena bisa menabung untuk biaya kuliah sendiri.
Kelar kuliah, hanya sebentar sempat kerja di hotel karena lulusan perhotelan, selanjutnya malah diterima di sebuah perusahaan koran lokal yang kemudian diambil alih perusahaan media nasional sebagai anggota redaksi yang mengisi berita di sebuah koran lokal yang baru akan diterbitkan. Jadilah setiap hari, dituntut harus menilis. Bukan berupa cerpen atau cerita fiksi lainnya, melainkan menulis berita yang berdasarkan fakta.
Setelah mengundurkan diri sebagai jurnalis, mula-mulanya masih sering menulis fiksi. Tapi lama-lama makin jarang dan makin jarang. Tanpa disadari, pena yang dijadikan senjata untuk menulis, semakin tumpul.
Sekarang, rasanya sulit sekali membuat tulisan. Jangankan menulis sebuah cerpen, menulis diary atau catatan harian saja sulit. Bahkan untuk menulis puisi paling pendek sekalipun perlu perjuangan.
Jadi begitulah, penulis jadul adalah penulis yang penanya semakin tumpul dan ingin memulai dari awal lagi untuk mengasah pena. Dengan membuat blog baru ini, penulis harapkan menjadi wadah untuk berbagi dan alat untuk mengasah penalagi.
Mohon bantuannya teman-teman…
Semoga cerita dan tulisan di blog ini, bermanfaat bagi kita semua. Aamiin… Ya, Rabbal Alamiin…
Banjarbaru, 18 September 2018