ANAK baru itu kece.
Siapapun mengakuinya. Jangankan cewek-cewek, para cowok pun terpesona.
Jangankan murid, guru pun terkesima. Kelas ini bagai kedatangan Andre Agassi
kesasar.
Fariz, nama
anak baru itu. Selintas kilas emang mirip Andre Agassi. Terutama alisnya yang
tebal dan bola matanya yang coklat kelam. Bedanya Andre jagoan tennis, sedang
Fariz lebih demen ngejar-ngejar bola basket. Andre bule, sedangkan Fariz
Indonesia asli, paduan Menado dan Melayu. Yang jelas Fariz nggak gondrong.
Soalnya bisa ketangkap razia.
Sekejap saja
Fariz sudah jadi perhatian. Dia masuk bersamaan dimulainya tahun ajaran baru.
Diantar Pak Basuki ke kelas II sosial dua.
Anak-anak yang
sedang asyik ngegosipin liburannya langsung terpana. Mereka pikir, ngapain
Andre Agassi ke sini, bukannya ikut turnamen Grand Slam? Lagian perasaan di
sekolah ini belum ada lapangan tenisnya. Jadi nggak mungkin diadakan turnamen
tennis ‘SMA Sweet Seventeen Terbuka’. Adanya lapangan basket yang bisa disulap
jadi lapangan voli sekaligus tempat upacara bendera. Ada juga lapangan bola,
tapi udah keluar lingkungan sekolah. Seberang sana ada stadion.
Setelah Pak
Basuki menjelaskan, baru mereka mengerti. Fariz diserbu. Mereke berebut
menyalami. Terutama cewek-cewek. Sampai tarik-tarikan segala. Fariz kewalahan
melayani mereka.
Pak Basuki
hanya geleng-geleng kepala. Sebelum pergi beliau sempat menginstruksikan
anak-anak untuk menyusun bangku karena acara belajar-mengajar akan segera
dimulai.
Lagi-lagi
anak-anak berebut, menawari Fariz duduk berdua. Cewek-cewek bergenit-ria,
setengah merayu setengah memaksa agar Fariz mau duduk dengannya. Fariz cuma
tersenyum menanggapinya.
Bel istirahat
berbunyi. Fariz belum memutuskan duduk dengan siapa. Dia malah ikut rombongan
anak cowok ke kantin. Diam-diam beberapa cewek mengikuti dari belakang. Mereka
jajan sambil bercanda. Fariz selalu jadi perhatian.
“Anak terpandai
di kelas kita siapa?” bisik Fariz pada Danang yang duduk di sebelahnya ketika
anak-anak lain asyik tertawa-tawa.
“Dara,” jawab
Danang heran.
“Anaknya yang
mana?”
Danang menoleh
ke sana ke mari. “Nggak ada di sini. Itu tuh, yang duduknya di meja depan,
dekat guru. Yang rambutnya lurus panjang suka dikuncir satu, pake kacamata.”
Fariz
mengangguk mengerti.
“Kenapa?”
Danang penasaran.
Fariz tersenyum
misterius.
Setelah kembali
ke kelas, baru Danang mengerti. Fariz menenteng tasnya, menghampiri Dara yang
duduk sendiri, asyik membaca.
“Kamu sendiri?”
tanya Fariz.
Dara kaget.
Lebih kaget lagi ketika melihat makhluk yang berdiri di samping kursinya.
Agaknya makhluk inilah yang tadi bertanya.
“I… ya!” suara
Dara gugup karena dari tadi Fariz tak juga melunturkan senyumnya. Senyum itu..
ala, mak!
“Boleh aku
duduk di sini?”
Kalau saja
punya korek kuping, pasti Dara mengorek kupingnya, saking tidak percaya. Apa
katanya tadi? Dia mau duduk di sini? Apa tidak salah? Sementara selusin cewek
cantik dan centil menawarkan bangkunya, Fariz malah minta diizinkan duduk di
sampingnya.
Dara bingung.
Dia merasa berpasang-pasang mata menatap tajam. Ada bermacam nada terkandung di
dalamnya. Iri, sirik, dengki, itu paling dominan. Dari barisan cewek yang
menawari Fariz kursi tentunya. Dara jadi nggak enak hati.
Tapi senyum
yang terus menghias bibir Fariz itu membuatnya tak sanggup untuk menggeleng.
Dia nggak mau Fariz kecewa, apalagi marah.
Akhirnya Dara
mengangguk. Abis, masak mau ngelarang orang duduk sedang orang itupun bayar SPP
seperti dirinya? Itu kan haknya.
Senyum Fariz
tambah lebar. “Terimakasih.”
Dara menggeser
duduknya dekat jendela. Dia mengeluh dalam hati. Senyum Fariz harus dibayar
dengan cibiran bahkan gerutuan dari cewek-cewek yang memandang mereka.
***
Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ^_^

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.