“OOOIII…. Isnaaa…!”
Suara itu begitu nyaring dan melengking. Semua
orang yang berada di sekitar pelabuhan menoleh ke arah suara itu. Demikian juga
Isna. Dia hapal benar siapa yang memiliki suara seunik itu.
Seorang gadis sedang terayun-ayun di atas jukung
atau perahu kecilnya. Tangannya melambai ke arah Isna penuh semangat.
“Paaattt…!” Tanpa sadar Isna balas
berteriak.
Isna nyengir ketika menyadari pandangan
orang beralih kepadanya. Untuk mengurangi malu, dia pura-pura cuek.
Ipat dengan gesit mengayuh jukungnya,
meliuk-liuk dengan lincah. Menyusup di antara jukung dan kelotok atau perahu
motor lain yang rata-rata lebih besar. Sebentar saja jukung Ipat sudah berhasil
merapat ke dermaga di mana Isna berdiri menunggu.
Sebelum Isna melompat ke jukung, Ipat sudah
lebih dulu melompat ke dermaga.
“Apa kabar, Is?” sapanya dengan Bahasa
Indonesia yang formal dan baku seraya menjabat tangan Isna.
Isna terlongo sesaat. Tapi dia segera sadar
kekonyolan sahabatnya itu sengaja untuk menggodanya.
“Ikam ni!” gerutunya dalam Bahasa
Banjar yang berarti : kamu ini! Sambil menjitak kepala Ipat, gemas. “Baik-baik
saja. Apa kabar kamu dan teman-teman di sini?”
Ipat cengengesan. “Kukira kamu sudah lupa
Bahasa banjar. Tadinya aku malah mau menyapamu pakai Bahasa Jawa.”
“Memang kamu bisa Bahasa Jawa?”
“Bisa,” jawab Ipat bangga. “Lakone nopo
Pak Mantep?”
Isna tergelak.
“Ayo kita pulang!”
“Tunggu dulu!” cegah Ipat sebelum Isna
sempat bergerak. Dia memegang lengan Isna. Matanya menatap Isna dari ujung kaki
sampai kepala, lalu dari ujung kepala sampai ke kaki. Begitu berulang-ulang.
Setelah puas memandang, dia menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Kenapa?” tanya Isna heran.
“Aku kecewa. Setelah setahun di Yogya, kamu
sama sekali tidak berubah, kecuali tambah tua.”
“Sialan!” umpat Isna keki. “Memangnya aku
KBH RX, bisa berubah-ubah RX Robo, RX Turbo!”
“Wah, ternyata di Yogya ada Ksatria Baja
Hitam juga, ya?”
Sebelum Isna kembali menjitaknya, Ipat
merebut tas pakaian dan kardus di tangan isna, kemudian melompat ke dalam
jukung. Diletakkannya barang-barang itu di tengah-tengah jukung, lalu dia
mengambil dayung seolah siap untuk mengayuh jukungnya.
“Eh, memang aku mau ditinggal?” protes
Isna.
Ipat nyengir. “Lupa! Yang penting kan
oleh-olehnya. Kalau orangnya sih, terserah, mau ikut atau tidak.”
Isna memaki. Cepat dia melompat ke dalam
jukung. Dia merebut dayung di tangan Ipat.
“Sini, biar aku yang mengayuh!”
“Apa kamu masih bisa?”
Isna cemberut. Kesal sekali dia digoda
terus oleh sahabatnya itu.
“Aku takkan kehilangan kebisaan kalau hanya
karena tinggal di Yogya selama setahun. Bila kita berlomba, aku yakin bisa
mengalahkanmu.”
Ipat tersenyum. Senang bisa menggoda
temannya itu habis-habisan. Dia membiarkan Isna mengayuh jukung, menjauhi
dermaga. Perhatiannya beralih pada keadaan Pelabuhan Trisakti yang penuh
manusia setelah kedatangan KM Lawit. Kapal ini yang membawa Isna dan ratusan
penumpang lainnya. Sebentar lagi kapal itu berangkat lagi menuju Pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Makanya calon penumpang yang mau naik bercampur baur
dengan penumpang yang turun. Semrawut minta ampun. Ditambah lagi para pengantar
dan penjemput yang ikut berdesakan. Semoga saja dermaga pelabuhan tidak ambruk
karenanya, doa Ipat dalam hati.
Jukung mereka semakin jauh dari pelabuhan.
Perhatiannya kembali pada Isna, sahabatnya yang baru datang dari yogya.
Dilihatnya Isna mengayuh jukung penuh semangat. Sambil menikmati pemandangan
sepanjang sungai.
“Kamu tahu, Pat,” kata temannya itu. “Aku
rindu sekali suasana seperti ini. Suara gemercik air yang mengalun. Ayunan
gelombang yang membuai. Angin yang membawa uap air sungai. Dan perkampungan
terapung yang damai. Aku rindu segala yang ada di sini, yang tak pernah
kutemukan di Pulau Jawa.”
“Kalau kamu rindu, aku malah bosan,” balas
Ipat.
Sebenarnya Ipat iri pada Isna. Temannya itu
berkesempatan merantau ke Pulau Jawa, menuntut ilmu di Yogya. Tentu telah
banyak yang dia ketahui dan alami. Tidak seperti dia yang seumur hidupnya
dihabiskan di sini. Yang dilihatnya melulu sungai dan sungai. Sungguh membosankan!
“Kalau rindu, kenapa kayaknya kamu enggan
untuk pulang?”
Isna terdiam. Dia tak bisa menjawab
pertanyaan Ipat karena dia punya alasan pribadi. Semula dia memang berencana
tidak pulang liburan panjang kali ini. Tapi beruntung, semua teman kosnys
pulang. Tempat kos jadi teramat sepi. Terpaksa rencana itu dia ubah. Bahkan
perubahan rencana ini tidak sempat dia kabarkan pada orang rumah. Cuma Ipat
yang dia minta menjemputnya di pelabuhan. Bisa dia bayangkan, betapa
terkejutnya mereka bila tiba-tiba dia muncul.
“Is, kita hampir sampai, lho!”
“Aku tahu.”
“Yah, barangkali saja kamu sudah lupa
dengan rumah sendiri.”
Isna tidak menanggapi godaan Ipat. Dia
sibuk menata perasaannya yang tiba-tiba saja meluap-luap, bahagia, rindu, dan
haru berbaur jadi satu.
*** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.