MENANTI
hujan di Bulan Ramadhan, namun tak kunjung datang. Malah kabut asap akibat
kebakaran lahan semakin menebal. Memerihkan mata menyesakan pernafasan.
Memasung panas mentari dalam jaring-jaringnya. Namun tetap menebar terik yang
mencekik tenggorokan.
Menanti hujan di
Bulan Ramadhan bagiku juga sebuah cobaan selain berpuasa melawan lapar dan
dahaga. Karena Ramadhan yang kukenal sangat menyukai hujan. Meski hujan pula
yang merenggutnya ke dalam bingkai kenangan.
“Ada yang bisa saya
bantu, Non?” Seraut wajah basah kuyup mengetuk jendela Honda Jazz kesayanganku.
Aku tersentak kaget.
Bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba. Tapi lebih karena ketampanan
wajah basah itu. Air membuatnya terlihat bercahaya. Aku sampai terpesona.
Semula aku sempat
ragu. Takut masuk perangkap penjahat. Namun ingat aku sudah berada di
lingkungan kompleks, keraguan itu lenyap. Kuturunkan kaca jendela sedikit.
Namun cukup untuk memperjelas pandanganku pada wajahnya.
“Mogok. Mungkin
karena bagian mesinnya kecipratan air hujan.”
“Wah, sayang saya
tidak mengerti mesin.”
“Rumahku tinggal
beberapa puluh meter. Mobil bisa titip di sini? Tapi hujan ini…”
“Oh, tenang, Non. Di
musholla ada payung.”
Tanpa menunggu lebih
lama, sosok basah kuyup itu menjauh. Aku baru sadar, mobilku ngadat tepat di
depan musholla kompleks perumahan. Agaknya, cowok itu yang bertugas menjaga
musholla. Aku tidak tahu pasti, karena selama ini tidak pernah terlalu
memperhatikannya. Tapi tampaknya dia juga masih remaja. Paling, usianya dua
tiga tahun di atasku. Penampilannya saja yang membuatnya kelihatan lebih tua
dari umurnya. Maklum, hanya mengenakan kaos kumal dan celana kain lusuh.
Padahal kalo didandani sedikit saja, pasti kerennya tak kalah dengan selebriti.
Cowok itu datang
dengan menenteng payung di tangannya.
“Ada payung, kenapa
kamu hujan-hujannya?” tanyaku tanpa bosan menatap sosok tampan basah kuyup itu
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maklum, hujan masih deras mengguyur.
Cowok itu tersenyum.
“Saya menyukai hujan.”
Jawaban yang sempat
membuatku terlongo.
“Baiklah, payungnya
kupinjam. Titip mobil, ya!” ujarku sambil mengambil payung dari tangannya.
“Oya, namamu siapa?”
“Saya Ramadhan, Non.
Putra Pak Saidi, satpam kompleks. Kami numpang tinggal di samping musholla.
Sekalian saya bantu-bantu jadi marbot musholla.”
Mataku melebar.
Sudah berapa lama kami sekeluarga tinggal di kompleks ini? Tapi tak pernah tahu
salah satu satpam kompleks bernama Saidi. Yang mana orangnya, ya? Mungkin yang
paling tua. Padahal dia punya anak cowok yang sebegitu kerennya.
“Saya Kansha…”
“Saya tahu, Non.
Panggilannya Non Chacha. Blok F No 23 C.”
Kembali mataku
melebar dengan bibir setengah terbuka.
Ramadhan tersenyum.
“Ayah saya kan satpam, Non. Jadi mengenal seluruh penghuni kompleks, walau
mereka tidak mengenal kami.”
Aku
pulang menggunakan payung yang dipinjamkan Ramadhan. Entah kenapa, percakapan
singkat kami memberikan kesan tersendiri.
Sesampai
di rumah, aku menelpon bengkel agar mengirim montir. Setelah itu aku langsung
menelpon Siska, ce-esku. Kuceritakan, aku baru bertemu cowok yang cakepnya
kayak Adam Jordan.
“Marbot musholla?” Siska ngakak habis. “Memangnya kamu baru nonton sinetron Ramadhan?”
Bersambung ke bagian berikutnya, ya...

No comments:
Post a Comment
Mohon berkomentar secara bijak dan santun.